Pulanglah.
Jika bising di luar membuatmu tak bisa bicara. Di sini masih sunyi. Sepelan apapun kata-kata keluar akan tetap ditangkap telinga.
Pulanglah.
Jika panasnya jalanan membuat kulitmu berubah warna. Di sini tetap teduh. Seberapapun matahari menampakkan wajahnya kau tak akan gerah.
Pulanglah.
Jika di luar sana kau se-orang dipenuhi sesak, sibuk menangisi kecewa yang berserak. Di sini kau tak sendiri. Menangis pun ditemani.
Pulanglah nak..
Di luar; seberapapun kau kejar bahagia. Di rumah ada segalanya.
(Vivi Aramie)
Penasaran, kalau suatu hari ditanya gini saya bisa jawab dengan baik ngga ya:
“Allah itu tercipta dari apa?”
Jawaban dari ini emang bersifat aksiomatik, artinya sebuah kebenaran yang “emang begitu adanya”, tinggal diterima.
“Allah tidak tercipta dari apa-apa, karena Allah tidak ada yang menciptakan. Allah ada tanpa diawali dan tidak akan pernah berakhir seperti manusia. Kalau sesuatu terbuat dari sebuah material dan ada yang menciptakan, berarti namanya makhluk, dan ngga pantas dianggap tuhan.
Yang pantas disebut tuhan itu adalah sesuatu saking hebatnya hingga mampu menciptakan apapun tanpa ada yang menciptakan dirinya sebelumnya. Kamu mau menyembah tuhan yang diciptakan oleh sesuatu yang lebih kuat darinya?”
Tapi, jawaban aksiomatik gitu akan sulit diterima bagi yang belum menjalani proses berpikirnya, apalagi untuk anak-anak. Makanya mungkin lebih baik kalau dijawab dengan ngajak mikir dulu.
Gini. Kalau kamu bikin robot, apa berarti kamu adalah tuhan karena menciptakan robot? Enggak? Kenapa? Karena kamu harus dibuat dulu lewat rahim Ibu kamu, terus dilahirkan ke dunia. Masa tuhan harus dibuat dulu, terus dilahirkan? Kalau begitu yang lebih berkuasa yang dilahirkan atau yang melahirkan?
Terus, apakah Ibu kamu adalah tuhan karena melahirkan kamu? Enggak? Kenapa? Karena Ibu kamu juga ada yang membuatnya lewat rahim nenek kamu, terus dilahirkan ke dunia juga.
Begitu terus, nenek kamu dilahirkan buyut kamu, sampai ke Nabi Adam. Terus, apa Nabi Adam adalah tuhan karena mengawali semua manusia? Enggak? Kenapa? Karena Nabi Adam juga ada yang menciptakan. Dia memperkenalkan dirinya dengan nama “Allah”.
Yang menciptakan Allah siapa? Engga ada. Udah mentok. Sang Pencipta Nabi Adam ada tanpa ada yang menciptakan dan ngga pernah ngga ada.
Kok bisa sih Allah ada tanpa ada yang menciptakan? Padahal segala sesuatu pasti ada penciptanya?
Gini. Segala sesuatu yang kita tau, termasuk aturan “segala sesuatu pasti ada penciptanya”, itu adalah ciptaan Allah. Allah juga bikin aturan-aturan lain, kayak fisika, matematika, kimia, biologi, astronomi, semuanya aturan yang dibikin Allah.
Semua aturan itu tunduk sesuai perintah dan kehendak Allah, tapi Allah ngga tunduk sama aturan-aturan itu–ya karena mereka semua cuma ciptaan Allah.
Jadi, hukum fisika, matematika, kimia, biologi, termasuk aturan “segala sesuatu pasti ada penciptanya” itu tidak berlaku buat Allah. Allah bisa ada tanpa perlu ada yang menciptakan, tanpa bahan-bahan seperti yang kita pahami di kimia, tanpa ada yang melahirkan seperti yang kita pahami di biologi.
Itulah kenapa kita menyebutnya “Tuhan”–karena Dia ngga sama dengan apapun yang diciptakan-Nya.
Hmm, nampaknya itu pun masih terlalu kompleks untuk anak-anak.
Let me try this one more time:
“Allah itu tercipta dari apa?”
Allah itu ngga tercipta dari apa-apa, Nak, karena Allah ngga diciptakan. Allah ada sendiri tanpa proses penciptaan. Kenapa bisa begitu? Karena Tuhan memang seharusnya begitu, tidak bergantung pada apapun. Satu-satunya yang bisa kayak gitu cuma Allah, makanya kita mengakui dan menyembah-Nya sebagai Tuhan, saking hebatnya.
Tulisan ini mungkin relevan untuk kamu yang:
Masih menjalani sebuah pendidikan–entah di sekolah atau di kampus, tapi sebenernya ngga bener-bener tau bagaimana pendidikan yang kamu jalani akan membantu mencapai apa yang kamu inginkan dalam hidup
Baru lulus sebuah jenjang pendidikan, tapi ngga tau apakah sebaiknya lanjut sekolah, kerja, memulai bisnis, atau ngapain
Udah selesai dengan pendidikan formal, mulai settle dengan kehidupan yang “sesungguhnya”, tapi ngerasa hampa–ngerasa “no one” karena ngga punya keahlian spesifik
* * *
Jadi, dalam perjalanan saya menggarap proyek Esensify, saya banyak baca buku dan banyak terinspirasi (tentu saja, sebab Esensify kerjaannya emang bikin intisari buku).
Salah satu buku yang lagi saya buatkan intisarinya adalah buku “Ultralearning” (bisa dibeli di Amazon)
Singkatnya, buku ini ngajarin prinsip, strategi, dan taktik yang bisa kita gunakan kalau kita mau belajar sebuah keterampilan atau ilmu dengan efektif, efisien, cepat.
Si penulis cerita, dia lulus semua ujian program sarjana computer science MIT dalam kurang dari setahun (yang wajarnya dicapai dalam empat tahun), tanpa pernah menjadi mahasiswa MIT. Dia belajar sendiri.
Ada juga beberapa cerita ultralearner lain, misalnya cerita tentang orang yang bikin game Stardew Valley sendirian. Dia sendiri belajar ngoding, pixel art, komposisi musik, sampai pemasaran game-nya. Kalau anak Steam pasti tau game ini.
Saya sadar bahwa gagasan “pendidikan formal udah outdated” bukanlah sesuatu yang baru.
Waktu kuliah dulu, ada diskusi bahwa pendidikan tinggi tidak berkontribusi signifikan menurunkan angka pengangguran meski angka orang yang mengenyam pendidikan tinggi naik.
Sebagian orang juga udah memulai homeschooling sejak beberapa tahun yang lalu. Namun, karena saya cukup konservatif kali ya, saya ngga pernah anggap itu alternatif yang serius untuk pendidikan.
Tapi, kali ini, kombinasi dari pengalaman saya selama berkarir dan insight dari buku ini membuat saya akhirnya mau bangun dan serius memikirkannya, paling engga untuk saya dan keluarga saya.
Untuk memberikan konteks yang lebih jelas, begini.
Di industri saya, tech startup, kita semakin ngga peduli dengan latar belakang pendidikan formal kandidat (kebetulan saya udah 6 tahun berurusan dengan hiring orang, jadi saya yakin dengan observasi ini). Banyak software engineer yang di atas kertas “cuma” lulusan SMK, tapi bisa mengimbangi bahkan outperform yang lulusan S1 ilmu komputer–misalnya. Ini riil. Makanya coding bootcamp semakin menjamur.
Kalau kita berorientasi pada hasil, kuliah S1 yang bisa makan waktu 3,5 sampai 6 tahun dan berbiaya puluhan-ratusan juta bisa dicapai dengan bootcamp 3-12 bulan dengan biaya belasan juta hingga “gratis” (bayar setelah lulus dan dapat pekerjaan).
Ini ngga cuma terjadi dalam konteks software engineer, tapi juga bidang spesifik lainnya, seperti data science, design, research, product management, dan bisnis.
Kata buku ini, masalahnya adalah pada “transfer of learning”, yaitu kemampuan mengaplikasikan informasi, strategi, keterampilan yang kita pelajari dalam konteks yang berbeda.
Seringkali pelajaran dalam pendidikan formal tidak berhasil membawa konteks-konteks dalam kehidupan nyata yang kompleks, kaya, dinamis.
Ada penelitian dari Howard Gardner dalam bukunya Unschooled Mind, yang kesimpulannya adalah para mahasiswa yang menerima nilai bagus pada pelajaran fisika seringkali tidak mampu menjawab pertanyaan mendasar yang dimodifikasi dari apa yang telah diajarkan.
Atau contoh lain yang saya yakin banyak yang ngalamin, di kelas Bahasa Inggris kita diajarin grammar dan vocabulary. Pas ujian nilainya oke. Udah pede tuh, berasa jago. Tapi, saat ketemu asing beneran dan harus berbahasa Inggris, bisa nggak kita berkomunikasi sama dia?
Ada beberapa strategi yang direkomendasikan sama buku ini, salah satunya adalah direct learning, di mana kita langsung terjun ke situasi di mana keterampilan itu akan digunakan.
Contoh yang paling mudah adalah belajar bahasa. Daripada sibuk bolak-balik baca buku tentang gramatika, mending kamu bikin komunitas di mana semuanya wajib ngomong pakai bahasa tersebut. Atau, lebih baik lagi, langsung berkomunikasi dengan native speaker-nya.
Contoh lain, kalau mau belajar ngoding website, daripada belajar HTML dan CSS secara terpisah dan masing-masing berdiri sendiri (terpisah dari konteks kebutuhan kita), mending kamu bikin proyek website di mana kamu terpaksa harus menggunakan HTML dan CSS sesuai dengan situasi di mana kamu membutuhkannya.
Ada juga strategi metalearning, di mana kita melakukan pemetaan bagaimana suatu keterampilan terstruktur dan gimana cara terbaik mempelajarinya. Singkatnya, mempelajari gimana caranya untuk mempelajari sesuatu.
Contoh yang saya sendiri praktekkin setiap saya mau menaikkan “level” diri saya sendiri di pekerjaan, saya pelajari job description level yang lebih tinggi dari saya dari berbagai perusahaan besar di Indonesia dan dunia. Saya sintesiskan, lalu saya petakan gimana caranya saya bisa deliver job description itu dan langsung saya praktekkin dalam pekerjaan saya (simpelnya). And it works!
Mungkin, hari ini, belum semua bidang ilmu/keterampilan bisa diperlakukan seperti ini, misalnya bidang dengan resiko tinggi seperti kedokteran atau penerbangan. Tapi kalau kamu ngga di bidang yang beresiko tinggi seperti itu, berbahagialah karena internet menyajikan kesempatan untuk belajar apapun.
Sebagaimana jawaban untuk banyak urusan hidup: tergantung.
Kamu mau mencapai apa dengan sekolah lagi?
Bagaimana sekolah lagi mengantarkan kamu semakin dekat dengan apa yang penting bagi hidup kamu?
(Dan anyway, apa yang sungguh-sungguh penting bagi hidup kamu? Sebaiknya udah bisa jawab ini dengan mantap)
Tentu saja, bisa jadi sekolah lagi relevan untuk kamu dan mengantarkan kamu ke tujuan kamu–apapun itu.
Yang ditawarkan oleh buku ini adalah semacam argumen bahwa kalau yang kamu cari adalah penguasaan atas suatu keterampilan atau ilmu, ada rute lain yang lebih efektif dan efisien daripada pendidikan formal.
Pengen bikin bisnis? Kita bisa belajar dengan cara bikin bisnis alih-alih ambil MBA. Pengen jadi programmer? Kita bisa belajar dengan mulai bikin software alih-alih mikirin untuk kuliah ilmu komputer.
Tentu, belajarnya dengan prinsip, strategi, dan taktik yang tepat, seperti yang ditawarkan oleh buku ini.
* * *
Ps: intisari versi lengkapnya akan tampil di Esensify setelah segala infrakstruktur dan kontennya memadai.
Hallo kak Dea, tau tempat kursus web design online atau offline di Surabaya yang bagus? Saya tertarik belajar web design otodidak tapi basic ilmunya 0 banget, terima kasih sebelumnya kak, stay safe and stay sane dimanapun kak Dea berada..m
Dicoding bagus sih. Online.
Assalamu 'alaikum, kak Yasir. Sy telah melakukan tindakan dan mengambil bbrp keputusan yg ternyata salah, dlm hidup sy selama 2 th terakhir menjalani pendidikan S2. Akhirnya sy jadi yg paling lambat progresnya dibanding tman kelas yg lain. Pdhl dulu, sy termasuk aktif di kelas. Sy minder banget dan merasa gagal krn blm mulai tesis smpai skrg. Perasaan ini malah bikin sy berusaha mencari pengalihan shingga progres sy tetap melambat. Mohon saran dan nasihatnya, kak. Trimakasih.
Wa’alaykumussalam Wr Wb.Maaf banget–kalau kamu masih baca blog ini, saya baru jawab sekarang. Ini pertanyaan udah lama banget. Mungkin kamu udah selesaikan S2 kamu saat ini.
Saya ingin berpendapat tentang ini karena barangkali ada temen-temen lain yang sekarang situasinya mirip dengan situasi kamu saat itu.
Apa yang kamu alamin sedikit banyak juga saya rasain meski dalam konteks dan kadar yang berbeda. Kalau saya konteksnya adalah karir. Saya akan berbagi hal yang saya lakukan yang kira-kira relevan untuk menghadapi situasi itu.
Pertama, berangkat dari kepercayaan bahwa kita ini ga buruk, ga bodoh. Kita perlu sadar bahwa kita punya kekuatan. Kalau bisa, coba telusuri bukti-bukti di masa lalu bahwa kita ini orang yang keren, prestatif, cerdas, atau atribut positif lainnya.
Hanya saja, situasi sekarang ga mendukung kita untuk menjadi versi terbaik diri kita. Entah itu karena keputusan-keputusan yang kita ambil maupun karena faktor eksternal.
Bukan mengajarkan untuk punya mental playing victim ya, cuma menurut saya sah jika kita ngerasa ada hal-hal di luar diri kita yang memengaruhi pikiran dan mental kita sehingga entah bagaimana kita jadi ga optimal. Justru, ini perlu kita identifikasi supaya kita ngerti apa yang terjadi.
Kedua, menurut saya ya, dalam situasi kayak gini kita perlu mengumpulkan banyak energi mental dan mengurangi saluran-saluran yang mengurasnya. Misalnya, kalau dengan break satu pekan kamu bisa ngerasa ke-recharge, so be it. Kalau dengan interaksi sama temen-temen kamu ngerasa terkuras, bilang aja bahwa kamu lagi perlu sendiri dan kurangi interaksi sama mereka.
Sesuatu yang sangat boleh menjadi egois ketika kondisi mental kita kurang sehat. Ini advice yang saya dapat waktu saya konsultasi ke psikolog.
Ketiga, kita perlu lingkungan yang suportif. Diantara cara menciptakannya ya kita mesti cerita situasi kita, ketakutan kita, ke orang-orang yang berurusan sama kita. Supervisor, peer, keluarga, dll. Ini berguna untuk menetapkan ekspektasi dari orang lain kepada diri kita, menghilangkan sebagian beban untuk tampil “sempurna” di mata mereka, sebagai bonus barangkali mendapatkan dukungan moral dari mereka.
Keempat, bikin milestone-milestone kecil dan belajar mengapresiasi diri kita sendiri. Coba bikin jurnal harian di mana kita mengapresiasi hal-hal positif yang terjadi hari itu. Ini membantu mengarahkan pikiran kita untuk fokus pada hal baik dan ngga tenggelam dengan pikiran negatif, karena seringkali kita tuh di mata orang baik-baik aja, tapi kita sendiri secara mental “memukuli” diri kita sendiri habis-habisan.
Dari situ, semoga bola salju positivitas bisa bergulir, makin besar dan makin kuat sehingga mengantarkan kamu kembali ke performa terbaik kamu.
Pengen cepet cepet menyelesaikan tugas dan pulang kerumah.
Badan rebahan, tapi pikiran selalu beraktivitas 😁😁
Overthinker mah gitu wkwwkwk.
Lagi banyak tugas yg harus diselesaikan dari biasanya, okeeey berjuang yuk berjuang.
Setelah dipikir-pikir, Uncomfort zone yang buatku "terpaksa" untuk mengembangkan diri.
Selamat menikmati hari ❤❤❤
Tidak ada yang tersisa kecuali
"Hanya Engkau Ya Allah"
Melalui pengeras suara Mesjid disalah satu wilayah palestina
sedang belajar meregulasi kebaperan yang ditimbulkan oleh perlakuan manusia 🙂
aku merasa gak melakukan apa-apa ke orang itu, tapi kenapa ya kayaknya kok benci banget ke aku. keliatan banget dari cara dia liat aku. tapi ya mungkin ada sifat yang melekat di diri aku yang dia gak suka. yaudasih terserah 😏
rasanya pengen ngasih "pandangan gak suka" yang sama ke dia. pengen ngasih tau kalau bukan cuma kamu yang bisa gak suka sama orang, tapi orang juga bisa gak sesuka itu sama kamu. kalau lagi ada di sekitar dia auto tidak merasa nyaman.
tapi aku memutuskan untuk bersikap normal. biasa aja. gak benci gak suka. kalau ditanya olehnya ya aku jawab, kalau dicuekin ya normal. padahal dalem hati gak nyaman bener deket ni orang, kerasa banget vibes kebenciannya. i am still respect her.
apa aku munafik?
kalau benci ya benci, tampakin aja apa yang di dalam hati. apa harusnya gini? dulu aku gini sih, balas balik perlakuan orang.
tapi sekarang, aku ingin menyikapi perlakuan orang dengan lebih bijak, sekali lagi gak semua orang harus suka dan nyaman sama aku, karena aku punya 1000 kekurangan yang mungkin gak aku sadari. karena aku sudah tau bagaimana rasanya diberi pandangan benci/sinis/gak suka, jadi aku gak mau orang lain merasakan apa yang aku rasa. simpelnya, aku berusaha itu tidak membalas perlakuan orang yang aku sendiri gak mau diperlakuin seperti itu.
aku menyebutnya kualitas diri. aku tidak ingin menambah bad side yang bersemayam di diriku. jelek-jelek yang ada pada diri harusnya dikurangin, bukan malah nambah.
lagi belajar untuk jadi sosok yang lebih bijak. semangat ya aku :)
katanya, keburukan jangan dibalas dengan keburukan juga tapi justru dengan kebaikan. dalam prakteknya: tetap bersikap baik saat orang lain juga bersikap baik memang hal yang mudah. namun, tetap bersikap baik saat orang lain bersikap rude atau kurang baik atau bahkan tidak baik sama sekali ke kita adalah tantangan yang melibatkan pergolakan batin luar biasa. bisa—tapi gak mudah. jujur.
setiap ada di posisi macem itu, saya selalu wondering tentang betapa agung dan mulianya akhlak Nabi Muhammad saw. yang tetap bersikap dan berbuat baik, berlemah lembut lagi penuh kasih sayang meskipun lawannya tidaklah bersikap demikian.
sebutlah kisah seorang yahudi yang suka meludahi Rasulullah namun beliau justru menjadi satu-satunya orang yang menjenguknya saat orang tersebut jatuh sakit. atau kisah seorang pengemis yahudi buta yang selalu nyinyir dan mengatakan hal yang tidak benar tentang Rasulullah namun tidak membuat beliau berhenti menyuapinya makan. juga kisah paman Nabi; Abu Lahab dan istrinya yang menghalalkan berbagai cara untuk menghalangi dakwah Rasulullah. atau juga paman Nabi yang lain yaitu Abu Jahal yang menyuruh seseorang untuk melemparkan kotoran unta pada saat Rasullullah mengerjakan shalat (pilu bener hati di bagian ini T.T).
dalam hati membatin, “Ya Allah, ini hatinya Rasulullah bersihnya kek macem manaaaa dan dadanya selapang apa cobaaa masih bisa sabar menghadapi sikap dan perlawanan macem gitu 😭 saya aja yang baca sirohnya aja nih istilahnya baca doang bawaannya kesel padahal gak ada di tkp dan menyaksikan kejadiannya tapi keselnya sampe ubun-ubun monangis. emang beda jauh dah maqamnya. atuhlah kamu emang belum dan bukan apa-apa fir🤧”
menariknya, kebaikan dan kelembutan Rasulullah yang tetap konsisten dan tidak berkurang sedikitpun itulah yang justru mampu meluluhkan (beberapa) hati diantara mereka. dan kalau dipikir-pikir, saya atau mungkin kita pun pernah merasa gitu; luluh ketika dibaikin, semakin ‘menjadi’ kalau dikerasin. pada titik itu saya paham kenapa keburukan harus dibalas dengan kebaikan sebab maslahat yang didatangkan jauh lebih besar ketimbang membalas dengan keburukan yang justru memungkinkan timbulnya keburukan yang lebih besar. iya, memang, ternyata kebaikan punya kekuatan sehebat itu.
semoga kita selalu bisa mengingat-ingat dan diingatkan kisah semacam ini ketika berada dalam posisi kayak gitu, ya? supaya bisa terus belajar melapangkan dada, meluaskan kapasitas sabar dan sesegera mungkin pick ourselves up buat mulai jalan lebih jauh lagi.
well, kita (manusia) emang makhluk yang lemah tapi kita gak boleh lupa caranya jadi kuat. yuk bisa yuk!
2020.9.29