Gak Pede Nge Tag Temen Di IG Story Karena Gak Pernah Di Repost 🤣 Ada Yang Sama?

gak pede nge tag temen di IG story karena gak pernah di repost 🤣 ada yang sama?

More Posts from Drinkwatersoon and Others

2 months ago

Tanda Seseorang Sudah Selesai dengan Dirinya Sendiri (Self Acceptance)

Apa itu self acceptance/ selesai dengan diri sendiri? Self-acceptance, atau penerimaan diri, adalah sikap menerima dan mengakui segala aspek dari diri sendiri, termasuk kekurangan, kekuatan, kelemahan, dan keunikan tanpa menghakimi atau merasa perlu mengubah diri untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Beberapa poin yang menjelaskan konsep self-acceptance:

Menerima Diri Apa Adanya: Self-acceptance berarti menerima diri sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangan. Ini termasuk menerima penampilan fisik, kepribadian, emosi, dan pengalaman hidup tanpa merasa malu atau bersalah.

Mengakui Kekurangan: Mengakui bahwa setiap orang memiliki kekurangan dan itu adalah bagian dari menjadi manusia. Self-acceptance berarti tidak merasa minder atau rendah diri karena kekurangan tersebut, melainkan menerima dan berusaha memperbaikinya dengan bijak.

Tidak Menghakimi Diri Sendiri: Berhenti menghakimi diri sendiri secara negatif atau keras. Seseorang yang menerima diri sendiri akan berbicara kepada dirinya sendiri dengan cara yang penuh kasih dan pengertian, sama seperti berbicara kepada teman baik.

Menghargai Diri Sendiri: Menghargai diri sendiri atas siapa diri kita, bukan hanya atas apa yang kita capai. Ini berarti menghargai nilai-nilai, prinsip, dan keberadaan diri sendiri.

Menerima Masa Lalu: Self-acceptance juga melibatkan menerima masa lalu, termasuk kesalahan dan kegagalan, sebagai bagian dari perjalanan hidup yang membentuk siapa kita saat ini.

Memiliki Pandangan Positif Tentang Diri: Membangun pandangan positif tentang diri sendiri, di mana seseorang melihat dirinya secara seimbang, menghargai kekuatan dan berkomitmen untuk memperbaiki kelemahan.

Mengurangi Perbandingan Sosial: Tidak terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain. Self-acceptance berarti memahami bahwa setiap orang unik dan perjalanan hidup masing-masing berbeda.

Ketenangan Batin: Dengan menerima diri sendiri, seseorang akan merasa lebih tenang dan damai secara batin, karena tidak lagi berjuang melawan diri sendiri atau mencoba menjadi orang lain.

Self-acceptance adalah dasar dari kesehatan mental dan emosional yang baik. Dengan menerima diri sendiri, seseorang bisa hidup lebih autentik, menjalani hidup dengan lebih bahagia, dan memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain.

Tanda Seseorang Sudah Selesai Dengan Dirinya Sendiri Tanda seseorang sudah selesai dengan dirinya sendiri (self-acceptance) dapat terlihat dari berbagai aspek, antara lain:

Penerimaan Diri: Mereka menerima diri mereka sendiri dengan segala kekurangan dan kelebihan tanpa merasa perlu menyembunyikan atau mengubah siapa mereka untuk menyenangkan orang lain. Meski begitu, tetap butuh untuk instropeksi dan mengembangkan diri bagi perbaikan dan kebaikan.

Ketenangan Batin: Mereka memiliki ketenangan batin dan tidak mudah terganggu oleh kritik atau pendapat negatif dari orang lain.

Mandiri Emosional: Mereka tidak bergantung pada orang lain untuk merasa bahagia atau berharga. Kebahagiaan dan rasa harga diri mereka berasal dari dalam diri.

Tujuan Hidup yang Jelas: Mereka memiliki tujuan hidup yang jelas dan bekerja menuju tujuan tersebut tanpa merasa tertekan oleh ekspektasi eksternal.

Keberanian Mengambil Keputusan: Mereka berani mengambil keputusan yang sesuai dengan nilai dan keyakinan mereka, meskipun keputusan tersebut tidak populer atau didukung oleh orang lain.

Relasi yang Sehat: Mereka memiliki hubungan yang sehat dengan orang lain, dimana mereka bisa memberi dan menerima dengan tulus tanpa merasa terbebani.

Kepercayaan Diri: Mereka memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan yakin akan kemampuan mereka dalam menghadapi tantangan hidup.

Tidak Membandingkan Diri dengan Orang Lain: Mereka tidak merasa perlu membandingkan diri mereka dengan orang lain dan fokus pada perjalanan hidup mereka sendiri.

Kemampuan Menghadapi Kegagalan: Mereka melihat kegagalan sebagai bagian dari proses belajar dan tumbuh, bukan sebagai cerminan dari nilai diri mereka.

Keseimbangan Hidup: Mereka mampu menjaga keseimbangan antara pekerjaan, keluarga, dan waktu untuk diri sendiri, serta mengelola stres dengan baik.

Jika seseorang menunjukkan tanda-tanda ini, bisa dikatakan bahwa mereka telah selesai dengan diri mereka sendiri dan mencapai tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup yang tinggi.

3 years ago
1 month ago

Bila perasaanmu begitu mendalam terhadap sesuatu hal, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah biar dirimu tidak tenggelam dan bila pikiranmu terlalu jauh merenungkan suatu urusan, maka pulangkanlah urusan itu kepada Allah biar dirimu tidak tersesat.

Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepadaNyalah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia dan bertawakkallah kepadaNya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (QS. Hud: 123)

©Fajar Sidiq Bahari (@fajarsbahh)

4 years ago

Melihat Keluarga seperti Melihat Perusahaan

Bismillah.

Baru-baru ini saya menyadari suatu hal: jika kita bisa memandang keluarga sebagaimana kita memandang sebuah perusahaan, maka mengelola keluarga ternyata bisa lebih challenging daripada mengelola perusahaan.

Di sisi lain, jika kita mau serius mengelola keluarga seserius kita mengelola perusahaan, maka reward yang akan kita rasakan juga akan jauh lebih besar dibanding jika kita mengelolanya “ala kadarnya” (seperti yang kita lakukan sekarang ini, mungkin).

Mari kita perhatikan beberapa aspek pada perusahaan yang bisa kita jadikan analogi terhadap keluarga: mengapa suatu perusahaan lahir, bagaimana suatu perusahaan dijalankan, dan bagaimana perusahaan berekspansi.

Pertama, mengapa suatu perusahaan lahir.

Paling tidak, biasanya ada dua alasan yang melatari lahirnya suatu perusahaan: (1) motif mencari keuntungan dan (2) hasrat ingin menyelesaikan suatu masalah atau ingin memberikan nilai tambah pada suatu hal.

Seberapa mungkin perusahaan yang lahir dengan proposisi lemah seperti “Ya, karena saya harus membangun perusahaan? Masa tidak? Emang saya harus ngapain lagi?” akan menjadi perusahaan yang sejahtera dan berumur panjang? (Sangat kecil kemungkinannya menurut common sense saya–tapi mungkin saya salah).

Sekarang coba kita jadikan ini analogi terhadap keluarga: mengapa suatu keluarga lahir. Kira-kira, keluarga seperti apa yang akan terbentuk jika alasan pernikahan dua insan yang membentuknya adalah, “Ya, karena saya harus? Karena semua orang melakukannya? Karena sudah saatnya? Masa ngga nikah?”.

Bahkan, menurut pendapat saya, alasan “Ingin beribadah” atau “Menunaikan sunnah Rasul” masih termasuk alasan yang terlalu general, terlalu luas, sehingga tidak menciptakan sense of direction–kita tahu tujuan spesifik kita, dan kita bisa mengukur di mana posisi kita saat ini relatif terhadap tujuan itu. Akibatnya, kehidupan setelah pernikahan seperti menaiki sekoci di lautan lepas tanpa kompas dan dayung, terombang ambing begitu saja, hanya mengandalkan takdir untuk bisa menemukan daratan.

Alih-alih, saya pikir sebaiknya dua insan yang mau menikah punya proposisi yang kuat untuk melakukan pernikahan. Meski trigger-nya adalah let’s say “cinta”, tapi ngga ada salahnya kita berefleksi dan menyepakati apa yang mau kita capai dengan pernikahan ini.

Mungkin sebagian dari kita dulu punya hal seperti ini (”Visi pernikahan: mengubah dunia menjadi lebih baik”), sayangnya di tengah perjalanan kita terdistraksi oleh berbagai hal lalu lupa–sebagaimana perusahaan yang sudah lahir, mulai established menjalani business as usual, lalu lupa akan true north star-nya.

Kedua, bagaimana suatu perusahaan dijalankan.

Katakanlah perusahaan mulai tumbuh. Hal-hal yang harus diurusi semakin banyak, sehingga perusahaan mulai hiring dan menempatkan orang dengan peran-peran spesifik.

Ada yang di-assign khusus mengurusi keuangan, ada yang khusus mengurusi manusia (HR), dan seterusnya. Semakin mature perusahaan, semakin banyak role “aneh” yang terbentuk dan memerlukan orang untuk memikirkannya, katakanlah impact manager, growth hacker, dan lainnya.

Dalam konteks perusahaan, hal ini gampang gampang susah. Tidak mudah, tapi selama ada uang dan ada leadership yang bagus, maka hal seperti ini bisa dikelola.

Dalam konteks keluarga, hal seperti itu susah susah gampang (susahnya 2x), karena kita tidak bisa hiring begitu saja. Beberapa tugas mungkin kita bisa assign ke orang lain, misalnya urusan beres-beres rumah ke asisten rumah tangga, urusan ngasuh anak sebagian kita berikan ke daycare/pengasuh/orang tua, urusan makanan kita assign ke GoFood. Tapi banyak sekali hal yang tidak bisa kita assign ke orang lain.

Urusan pengelolaan keuangan harus kita kerjakan sendiri (perencanaan, monitoring, evaluasi, dll) (kecuali kamu udah kaya dari dulu dan tinggal bayar financial advisor dan ikuti advice-nya, tapi saya ragu juga apakah kita bisa ikuti secara mindlessly).

Belum lagi urusan infrastruktur (sewa atau beli rumah? mobil, laptop, internet, mesin cuci, dll), itu semua harus direncanakan pengadaannya dan di-maintenance.

Belum lagi urusan pendidikan, baik formal maupun nonformal, bagi diri kita, pasangan kita, dan anak kita–tumbuh kembangnya, lingkungan pertemanannya, lingkungan sekitarnya (polusi? aman dari kejahatan? dll), dan banyak lagi. Variabelnya kompleks.

Belum lagi urusan hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan tetangga, hubungan dengan keluarga besar. Tidak bisa di-outsource.

Semua kompleksitas itu harus kita handle dengan dua kepala saja, kepala kita dan pasangan kita. Ini seperti punya perusahaan yang manajemennya cuma dua, lalu dua orang ini punya titel CEO, CFO, COO, CHRO, PR, dan berbagai peran lain secara horizontal dan vertikal.

Gimana tuh? Susah ngga?

Susah, kalau kita mau mengelola keluarga secara mindful, intensional, diniatin.

Gampang, kalau kita mau mengelola keluarga secara que sera sera, whatever will be will be, jadi apapun juga tidak peduli, tahu-tahu tua dan wafat.

Ketiga, bagaimana perusahaan berekspansi.

Suatu perusahaan bisa berekspansi jika model bisnis dasarnya sudah proven. Idealnya sih sudah profitable, walaupun dengan lahirnya tech startup kita melihat realitas lain (emang para unicorn itu udah profitable?).

Mereka sudah tidak struggle dengan urusan dasar lagi (highlight this, ini bottom line-nya). Mereka sibuk delivering more and more values untuk para pelanggan dan para pelanggan potensial. 

Contohnya Google (kalau yang ini sih udah profitable). Saking banyaknya duit dia, dia punya ruang yang sangat besar untuk melakukan berbagai eksperimen yang secara bisnis ngga jelas apakah akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan atau tidak. Disposable money, burn-able money.

Kalau eksperimennya gagal yowes, move on. Kalau berhasil ya bagus, bisa jadi sesuatu. Misalnya, mereka bikin autonomous car yang mungkin baru kerasa manfaatnya 20 tahun mendatang, atau mungkin ada yang masih inget Google Glass (yang nampaknya muncul terlalu dini), atau Google Loon yang menyediakan akses internet di area rural pake balon udara.

Kalau kita bawa ke konteks keluarga, ini adalah keluarga yang udah deliver values to the people outside their family. Entah mereka bikin buku yang mengubah hidup orang, atau bikin workshop mengenal tujuan hidup kayak temen saya, atau membuat lapangan pekerjaan buat warga sekitar, dan lainnya.

Apakah mereka sudah selesai dengan berbagai urusan mendasar? Ini pertanyaan yang tricky. Memangnya kapan urusan mendasar bisa dikatakan selesai? Sulit menjawabnya.

Pendapat saya adalah apapun kondisi “urusan mendasar” mereka, mereka sudah mampu memfokuskan perhatian dan energi mereka pada hal-hal di luar urusan mendasar itu (baca lagi bottom line di atas).

Mungkin secara materil uangnya ngga banyak. Mungkin uang kamu lebih banyak malah. Tapi mereka ngga ambil pusing dan ngga terlalu fokus di situ karena somehow mereka merasa aspek itu cukup lah.

Mungkin secara infrastruktur ngga sememadai infrastruktur kamu. Mungkin kamu ngga akan betah tinggal di rumah mereka. Tapi bagi mereka itu cukup, “let’s put our attention on something else”.

Kesimpulan.

Mungkin banyak dari kita yang mulai menjalani kehidupan keluarga secara business as usual. Berpindah dari satu gajian ke gajian lain, dari satu “pengen beli ini” ke “pengen beli ini” yang lain. Seriously, do you want to live your life like that forever?

Mungkin banyak juga dari kita yang lebih excited mengurusi pekerjaan di kantor, di kampus, atau di manapun tempat kita berkarya/mengabdi. Urusan rumah kita anggap membosankan, kurang menantang, tidak perlu mengeluarkan upaya terbaik kita (diajak ngobrol soal rumah sama pasangan, dalam hati kita “Apasih?”, “Yaudah nih uang biar cepet”). Padahal bahkan seorang CEO belum tentu bisa mengelola rumah tangganya sendiri sebaik ia mengelola perusahaannya (so probably it’s not as easy-boring as it seems).

Mungkin juga banyak dari kita yang menengok rumput tetangga via Instagram lalu muncul desiran “ingin seperti keluarga X tapi apalah daya takdirku begini”, lalu malah muncul penyakit hati iri dengki dan kawan-kawannya. Atau malah kita tidak mau kalah lalu berusaha mengimpresi orang-orang tentang keluarga kita, lalu kita menjadi budak citra, likes, dan pujian. Menderita ngga sih?

Mungkin dimulai dengan perspektif yang tepat, institusi yang namanya keluarga ini bisa jadi sarana aktualisasi diri kita yang utama. Mungkin dia bisa menjadi dongkrak atau bahkan rocketship bagi kita untuk jadi seseorang yang signifikan hidupnya.

4 years ago

Assalamu 'alaikum, kak Yasir. Sy telah melakukan tindakan dan mengambil bbrp keputusan yg ternyata salah, dlm hidup sy selama 2 th terakhir menjalani pendidikan S2. Akhirnya sy jadi yg paling lambat progresnya dibanding tman kelas yg lain. Pdhl dulu, sy termasuk aktif di kelas. Sy minder banget dan merasa gagal krn blm mulai tesis smpai skrg. Perasaan ini malah bikin sy berusaha mencari pengalihan shingga progres sy tetap melambat. Mohon saran dan nasihatnya, kak. Trimakasih.

Wa’alaykumussalam Wr Wb.Maaf banget–kalau kamu masih baca blog ini, saya baru jawab sekarang. Ini pertanyaan udah lama banget. Mungkin kamu udah selesaikan S2 kamu saat ini.

Saya ingin berpendapat tentang ini karena barangkali ada temen-temen lain yang sekarang situasinya mirip dengan situasi kamu saat itu.

Apa yang kamu alamin sedikit banyak juga saya rasain meski dalam konteks dan kadar yang berbeda. Kalau saya konteksnya adalah karir. Saya akan berbagi hal yang saya lakukan yang kira-kira relevan untuk menghadapi situasi itu.

Pertama, berangkat dari kepercayaan bahwa kita ini ga buruk, ga bodoh. Kita perlu sadar bahwa kita punya kekuatan. Kalau bisa, coba telusuri bukti-bukti di masa lalu bahwa kita ini orang yang keren, prestatif, cerdas, atau atribut positif lainnya. 

Hanya saja, situasi sekarang ga mendukung kita untuk menjadi versi terbaik diri kita. Entah itu karena keputusan-keputusan yang kita ambil maupun karena faktor eksternal.

Bukan mengajarkan untuk punya mental playing victim ya, cuma menurut saya sah jika kita ngerasa ada hal-hal di luar diri kita yang memengaruhi pikiran dan mental kita sehingga entah bagaimana kita jadi ga optimal. Justru, ini perlu kita identifikasi supaya kita ngerti apa yang terjadi.

Kedua, menurut saya ya, dalam situasi kayak gini kita perlu mengumpulkan banyak energi mental dan mengurangi saluran-saluran yang mengurasnya. Misalnya, kalau dengan break satu pekan kamu bisa ngerasa ke-recharge, so be it. Kalau dengan interaksi sama temen-temen kamu ngerasa terkuras, bilang aja bahwa kamu lagi perlu sendiri dan kurangi interaksi sama mereka.

Sesuatu yang sangat boleh menjadi egois ketika kondisi mental kita kurang sehat. Ini advice yang saya dapat waktu saya konsultasi ke psikolog.

Ketiga, kita perlu lingkungan yang suportif. Diantara cara menciptakannya ya kita mesti cerita situasi kita, ketakutan kita, ke orang-orang yang berurusan sama kita. Supervisor, peer, keluarga, dll. Ini berguna untuk menetapkan ekspektasi dari orang lain kepada diri kita, menghilangkan sebagian beban untuk tampil “sempurna” di mata mereka, sebagai bonus barangkali mendapatkan dukungan moral dari mereka.

Keempat, bikin milestone-milestone kecil dan belajar mengapresiasi diri kita sendiri. Coba bikin jurnal harian di mana kita mengapresiasi hal-hal positif yang terjadi hari itu. Ini membantu mengarahkan pikiran kita untuk fokus pada hal baik dan ngga tenggelam dengan pikiran negatif, karena seringkali kita tuh di mata orang baik-baik aja, tapi kita sendiri secara mental “memukuli” diri kita sendiri habis-habisan.

Dari situ, semoga bola salju positivitas bisa bergulir, makin besar dan makin kuat sehingga mengantarkan kamu kembali ke performa terbaik kamu.

11 months ago

Dunia Kerja

Rahasia umum kalau dunia kerja itu penuh dengan drama, pressure, politik kepentingan, circle²an, pokoknya banyak hal yang out of the box.

Untuk terbebas dari semua hal rumit itu kamu hanya perlu fokus dengan dirimu sendiri, fokus dengan apa yang dapat kamu kendalikan, tanggung jawabmu, serta perlakuanmu kepada orang lain.

Selebihnya bukan tanggung jawabmu; respon orang lain, sikap orang lain, kamu tidak bertanggung jawab akan hal itu.

Satu pesan pentingnya adalah; jangan pernah ikut andil dalam ghibah, terlepas dari apapun alasannya.

Suatu kemustahilan ketika kamu inginkan ridha dari semua manusia. Tak akan bisa.

Sesederhana meluaskan hati, memanjangkan sabar, menjaga lisan, fokus dengan apa yang ingin dicapai, dan itu CUKUP:)

Datang - Kerja - Pulang - Lupakan.

Dan tak lupa, tanamkan mindset ini:

1. Jangan berharap apapun dari tempat kerjamu. Lakukan saja tugasmu dengan baik dan sukai pekerjaanmu.

2. Bersikaplah netral dan sewajarnya, karena sikap too much akan membuat mereka sewenang-wenang, seolah tak ada batasan apapun.

3. Jangan meludahi sumur tempatmu minum. Sesederhana kalau sanggup lakukan, kalau tidak silahkan resign~

Rumit yaa, namun begitulah realita kehidupan dewasa. Semoga kamu kuat yaaa!

3 years ago

Hari ini jalan kaki jauh banget :)

Jadikan aku butuh tali untuk melengkapi bahan ajar les privat, kalau ke toko perjahitan cem victory kayaknya gak akan keburu karna bukanya jam 10 an, sedangkan jadwal les privat anaknya jam 10 juga. Jadilah pagi-pagi main kepasar Astana Anyar, siapa tau nemu tali sepatu yakan. Di pasar banyak jenis jajanan yang bikin ngiler, dan kue pukis jadi pilihanku untuk sarapan pagi ( kue pukisnya di keep dulu di tas, gak langsung dimakan ditempat ). Aku jalan sampai keujung tapi nihil, gak ada satupun yang jualan pertalian gitu. Tiba-tiba muncul ide untuk nyari ke Tegal Lega, aku memutuskan untuk mencoba rute baru yang belok ke arah kopo...harusnya sih lewat jalan astana anyar yang udah pasti tau arahnya aja, tapi gatau tadi sok-sokan pengen berpetualangan aja hehe. Oke, perjalanan dimulai dengan modal jalan kaki saja. Semakin menjauh dari pasar, dan aku hanya mengikuti instingku saja. Disini aku nyesel banget gak bawa handphone, setidaknya google map bisa spill rute dan posisi aku sekarang ada dimana, ditambah jadi was was juga karena ngerasa ngabisin waktu dijalan. Aku bener² ngerasa udah capek jalan dan masih belum tau posisiku disebelah mana wkwkwk, udah kayak anak ilang dan kesasar, tapi aku sih cuek aja. Daaan betapa bangganya aku setelah sejauh itu akhirnya aku bertemu dengan patung 3 harimau putih yang menandakan aku sudah sampai di tegal lega. MaasyaAllaah.

Di tegal lega, berjejeran penjual baju thrifted ( atau baju bekas import ). Beberapa kali tergoda ingin belok ke lapak thrifted, tapi fokusin tujuan lagi untuk nyari tali sepatu karena aku berburu dengan waktu. Alhamdulillaah, kayak nemu harta karun akhirnya nemu juga yg jualan tali sepatu 🤭

Setelah membeli tali sepatu tersebut, aku melipir dulu ke tempat duduk, melepas penat berjalan kaki dan menikmati kue pukis yang tadi kubeli di pasar. Dengan mata awas aku memperhatikan orang sekitar, jangan sampai ketemu sama orang yang aku kenal deh...kalau iya bakal malu bangeeet, kalau orang yang gak dikenal ya cuek bebek aja hehe.

Banyak banget kenangan di tegal lega ini, aku lebih sering main kesini sendirian :). Beberapa kali main bareng teh Mela, Dzah Maya, dan teh Vio... tapi ternyata aku lebih sering main sendiri karena aku lebih nyaman sendiri.

Makasih Tegal Lega untuk hari ini.

1 year ago

Listen to Surah Al-Qamar سورة القمر هزاع البلوشي by تلاوات خاشعة :: Tvquran22 on #SoundCloud

https://on.soundcloud.com/LKPCK

  • m-ismael
    m-ismael liked this · 1 year ago
  • drinkwatersoon
    drinkwatersoon reblogged this · 2 years ago
drinkwatersoon - Jarang Mampir
Jarang Mampir

less is more

209 posts

Explore Tumblr Blog
Search Through Tumblr Tags