Moksa

Moksa

@miakamiya

Rapalan doa bersama aroma ratus lamat-lamat ia dengar di suatu gua. Kadang terdengar seperti elegi, tidak jarang seperti kidung penuh luka.

Seorang pria berbaju putih duduk bersila di tengah dalamnya gua. Wajahnya putih bersih. Digenggamannya berputar tasbih berwarna cokelat tua.

Apa yang kutatap kali ini persis seperti dalam mimpiku. Kuucap salam dan ia menjawab salamku sembari membuka mata.

Saat aku akan membuka mulut kembali, ia terlebih dahulu berkata, "Duduklah di sampingku, jika itu yang kaucari." Suara rapalan doa lamat-lamat terdengar jadi dua.

4/2022

More Posts from Malamkontemplasi and Others

2 years ago

Kerja Profesional Menurut Gw

Bekerja semampu kita itu penting. Walau nggak ada yang melihat atau memperhatikan pekerjaan yang kita lakukan.

Kenapa bekerja semampu kita? Karena adakalanya semangat dan motivasi kerja kita lagi tinggi dan adakalanya turun, jadi jangan memaksakan diri. Bagi gw, mengakui batas kemampuan dan mau mengakui kondisi vulnerability kita itu sesuatu hal yang berani.

Kita punya tujuan menunaikan amanah dari tanggung jawab yang diberikan. Atas dasar itu, kita berharap semoga gaji yang diperoleh menjadi berkah buat dimakan keluarga kita.

28/02/2023


Tags
3 years ago

Musim Semi di Wajahmu

Musim Semi Di Wajahmu

@miakamiya

Musim semi di wajahmu, kontras dengan dinding muram dan wajah-wajah pasai ruangan itu.

Matamu menaruh harapan dan memerangkapku untuk tetap tinggal.

Ruangan yang sama, 

Percakapan yang seirama.

Namun, kaulekas pergi; menaruh kursi.

Aku tergugu pada gelas kopimu yang hampir rengat.

Meski tersirat, aku paham betul kita hanya masa lalu yang perlu menutup pintu.

Aku berdiri pilu melihat punggungmu yang kian menjauh segenggam.

Tanpa saling mengucap nama dan salam perpisahan untukku.

Kini, persamaan kita hanya sebatas melihat senja pada jendela yang berbeda. 

Lampu-lampu kota perlahan lindap, bersamaan dengan suara langkah kakimu yang menghilang di ujung jalan. 

18/9/2021


Tags
11 months ago

Bertemu dalam Doa

@miakamiya

Embun pagi membasahi jiwa-jiwa pencari.

Entah jati diri. Entah makna diri.

Tak ingatkah ia akan janji Tuhannya?

Ia begitu dekat, lebih dekat dengan urat nadi (QS. 50: 16).

Tiap malam ia bersua dengan si Empunya makhluk.

Berkata bahwa ia hari ini berkelakuan baik.

Bahwa ia dua hari lalu merasa seperti pecundang.

Bahwa ia, mungkin, lusa menjadi orang paling brengsek.

Tapi ia minta agar Tuhan tetap mau bertemu dengannya.

Pada jam yang sama, tempat yang sama.

Tidak ada yang paham dengan jalan pikirnya yang begitu rumit.

Tidak ada yang mau peduli sampai dekat.

Sampai ia rasakan sepi yang melekat.

Semilir angin sebelum cahaya itu menjadi saksi.

Bahwa janji Tuhan datang mengisi hati para pencari.

6/6/2024


Tags
3 years ago

Nasi Uduk Buatan Mak

image

@miakamiya 

Mirah menatap sepiring nasi uduk sisa dagangan Mak pagi itu. Meski hanya menjual nasi uduk saja, setiap pagi nasi uduk Mak memiliki rasa berbeda.

Entah orek tempe yang agak keras, bawang goreng layu, atau bihun yang kaku. Ya, bihun yang sudah dimasak itu kembali agak kaku dan menempel karena terlalu lama mendiami wadah rantang yang terpapar panas matahari di atas meja dagangan.

Mak, seperti biasa, mondar-mandir antara dapur dan meja dagangan. Mulutnya sibuk mengoceh sejak awal selepas Mirah menyendok nasi uduk dari termos nasi.

“Duit dari mana? Ini Mak susah-susah dagang buat kamu sekolah supaya kamu lekas kerja, Mir.”

“Opo kamu ora kasian liat Mak capek kerja sampe kamu lulus?”

“Bukannya bantuin Mak kerja, kamu malah bilang mau kuliah. Koyok Mak mu ini wong sugih wae.”

Mata Mirah pedih, kupingnya panas mendengar perkataan Mak. Meski begitu, Mirah bergeming.

Mulutnya sibuk mengunyah, sementara matanya menatap kosong sarapannya itu. Nasi uduk pagi buatan Mak selalu terasa hambar akibat ucapan Mak yang itu-itu melulu.

Kenapa musti Mirah yang mengalah, Mak? Apa Mirah tak berhak berusaha dapat yang Mirah mau? Cita-cita bak barang mewah bagi keluarga ini.

Anak-anak dilahirkan seperti hanya sebuah alat untuk menambah kantong pemasukan mereka. Apa aku dilahirkan hanya untuk itu?

Aku tahu aku dilahirkan dari keluarga tak punya, tapi wajibkah aku mengikuti seluruh ucapan mereka? Mereka mengatur hidupku menjadi apa yang mereka dikte.

Mereka menyalahkan takdir miskin yang mereka alami sebab aku dan adik-adikku lahir. Pemasukan mereka harus dibagi untuk kelima anak-anaknya.

Kenapa mereka tidak berusaha mengubah nasib mereka sendiri, sebelum menyuruh orang lain untuk mengubah nasib mereka? Sehingga ketika kami lahir, kami berada di keluarga yang cukup dan pernyataanku, “Mak, Mirah mau kuliah,” tidak menjadi cerita panjang saat sarapan pagiku.

Mak, seandainya Mirah benar angkat kaki, apakah Tuhan langsung melabeliku “anak durhaka”? apakah Tuhan tidak suka dengan hambanya yang ingin sekolah lagi? Apakah Tuhan tak senang melihat hambanya pintar? Apakah Tuhan tak ingin melihat hambanya berusaha mengubah takdirnya?

“Kapan Mak nimang cucu? Bagi Mak sekolah sampai SMA sudah cukup yang penting bisa itung-itungan toh, moco karo nulis. Kalo kamu kuliah kapan Mak istirahatnya, emang kowe ra kasian?”

“Ra usahlah sekolah tinggi-tinggi nanti kamu bakalan kayak Mak, di rumah, di dapur, urus keluarga juga.”

“kalau masih mau lanjut Mak nggak bisa kasih uang buat adek-adekmu sekolah, kamu mau mereka lulusan SD? Dibodoh-bodohi orang nanti, hah?”

“Mak dulu kawin sama Bapakmu umur 17, nggak punya biaya juga buat sekolah, Mak kerja seusia kamu.”

“Nanti apa kata orang, Mak punya perawan tua, kelamaan sekolah, nanti laki-laki di sini nggak mau nikah sama kamu. Kamu mau Mak diomongin sama tetangga, gitu?”

Entah mengapa, setiap kata-kata yang Mak keluarkan, ia menangkap rasa takut dari Mak. Seperti tersirat jika Mirah kuliah ia nantinya akan punya uang dan bekerja di Jakarta setelah lulus. Ia akan meninggalkan Mak dan tak akan kembali ke rumah.

Cuma kata-kata yang menakut-nakuti saja yang Mak keluarkan dan hendak meragukan keinginanku—yang kata Mak hal itu merupakan keegoisanku. Mirah tersenyum getir di sela-sela mengunyah nasi dan orek tempe dalam mulutnya.

Mirah melahap nasi terakhir dan kerupuk sebagai penutup. Ia membawa piring kotor ke dapur, lalu mencucinya. Selepas meletakkan piring dan sendok, Mirah berbalik ke arah Mak yang memunggunginya.

“Mak, Mirah dapat beasiswa kuliah di Jakarta.”

28/8/2020


Tags
4 years ago

Aroma Malam

Aku termangu dalam lautan bintang. Mereka yang terlelap, mereka yang mencumbu, mereka yang berburu binatang buas di hutan, mereka yang berteriak dari ujung peron, mereka yang lirih memuja Tuhannya. Pemuja malam yang tidak mengidolakan jabat tangan dengan orang asing, apalagi beramah tamah dengan musuh berselimut teman, atau rekan kerja mungkin? Kadang akrab, sering menikam dari belakang, tapi saling tersenyum kala jumpa. Menakjubkan. Sandiwara siaran langsung. Menatapnya, mendengarnya bicara, menganalisis mana perkataannya yang sesungguhnya. Aku bukan pemudi yang cekatan menebak ekspresi wajah. Namun, Psikologi mikroekspresi memang menarik dikaji.

Pemuja malam mengisi energi jiwa dengan berlama-lama menatap biru tua ke hitam pekatan, menyatu dengan dinginnya udara. Panas matahari berganti kala warna biru keungu-unguan menuruni celah awan. Perlahan, namun pasti, malam dalam genggaman. Ia menggapai pundak yang lelah. Ia memeluk jiwa yang lemah. Senyap dalam kegelapan yang teduh. Menangis pun tak ada yang tahu. Menggugu malam mengambil alih. Bernapas lega saat kaubuka jendela, dengan aroma malam membara (19/07/2020).


Tags
3 years ago

One Sided

@miakamiya

My eyes that following you like a shadow and slowly knows you better day by day. I became an expert observer of your life. Knowing your good and bad side, your angry face, your sad face, and of course your happy face too.

I'm always standing behind you like a fool because I hope that someday or even once, you'll turn around and see me. Even thought it just a glance, at least, you know that I'm exist.

But, your back that against me while you are smiling happily to the girl In front of you. Makes me realize that I'm just a loser even before the match started.

3/3/2022


Tags
4 years ago

Anak Laki-Laki di Dasar Kolam

@miakamiya

“Shameless!” “Fool!” Kedua kata itu terdengar ketika kuterbangun dari tidur. Entah alam bawah sadarku yang meneriakkannya atau karena hal lain. Tubuhku terasa berat setelah dibangun paksa oleh suara itu. Samar-samar kuingat kembali mimpi dengan suara barusan. Namun, aku malah teringat kejadian sepuluh tahun lalu, saat diriku begitu polos, menuruti semua dikte orang lain. Anak rajin yang periang. Semua kenormalan anak kecil: periang, rajin dan polos itu, mantap membuat orang dewasa di sekelilingmu berpikir bahwa kaubaik-baik saja. Tak ada yang salah padamu. Tak ada yang salah pada lingkungan sekitarmu. Hingga menjadi anak kecil membuat argumentasimu tidak didengar, hanya manusia minor yang otaknya belum sempurna betul. Tahu apa jika seseorang belum bekerja dan punya penghasilan. Mereka hanya dianggap anak kecil. Tidak lebih, tidak kurang.

Kubuka jendela kamarku. Matahari masih belum muncul, tapi aku segera bergegas pergi bekerja. Ya, ke tempat orang dewasa berkumpul. Aku menjadi bagian dari masyarakat yang normal dan layaknya orang dewasa pada umumnya. Setelah aku menyerap dan menganalisis perilaku orang-orang di sekelilingku, gaya bicara, gaya berpakaian, dan perilaku, supaya mereka mengira bahwa lawan bicaranya adalah sesama orang dewasa, dan tidak curiga padaku. Karena, orang “dewasa” berbicara pada orang yang memiliki gelar, kekayaan, membentuk perkumpulan konyol mereka. Jiwaku yang terperangkap tubuh orang dewasa ini, lebih banyak tidak mendengar ucapan-ucapan yang mereka lontarkan padaku.

Aku teringat pada Pangeran Kecil yang pernah berkata bahwa ia menceritakan semua detail mengenai Asteroid B612 ini sampai menyebut nomornya, gara-gara orang dewasa. Orang dewasa menyukai angka-angka. Jika kalian bercerita teman baru, mereka tidak pernah menanyakan hal-hal yang penting. Mereka tidak pernah bertanya, “Bagaimana nada suaranya? Permainan apa yang paling disukainya? Apakah ia mengoleksi kupu-kupu?” Mereka bertanya, “Berapa umurnya? Berapa saudaranya? Berapa berat badannya? Berapa gaji ayahnya?” Hanya demikianlah mereka mengira dapat mengenalnya[1].

Sambil kumenunggu bus tiba, aku selalu menyematkan handsfree di kedua telingaku agar tidak mendengar obrolan menjemukan dari orang dewasa yang berlalu-lalang di sekelilingku atau pura-pura tidak mendengar ketika rekan kerjaku yang kebetulan melihatku dari jauh. Namun, entah kenapa, dari samping halte bus, mataku tidak bisa mengalihkan pandangan.

Aku melihat anak kecil berjongkok, kepalanya tertunduk. Ia berada di dasar kolam dipenuhi air berwarna biru. Tidak ada yang bertanya padanya, “Apa kaubaik-baik saja?” Tidak ada satupun yang mau mengulurkan tangannya untuk anak laki-laki itu, meskipun kolam itu berada di tengah kota yang sibuk. Sesosok anak laki-laki tanpa nama, begitu kata mereka. Ia hanya lelah pada sekelilingnya hingga ia berlari sekencang mungkin. Ia memohon agar semua itu hanya mimpi dan menyesalkan mengapa hal itu terus berulang. Dari mana awal mulanya kebiasaan itu muncul? Bagaimana mengakhirinya? Adalah sesuatu yang harus ia temukan jawabannya segera. Namun, akhirnya ia lelah berlari menjauh hingga ia kembali lagi pada titik nadir itu. Ia menyerah dan memutuskan untuk mendiami kolam itu.

Tubuhnya kecil, wajahnya pucat, warna kulitnya pun putih pucat. Bila tangannya digenggam paksa maka urat nadinya akan langsung tampak kemerah-merahan, membiru jika terlalu lama dicengkeram. Seringkih itukah ia? Anak laki-laki tanpa nama itu, seakan bermata biru langit malam. Begitu melihatnya kauakan tenggelam, betapa magis tatapannya. Wajahnya begitu dingin, namun seperti membutuhkan sebuah pelukan hangat. Maaf, aku tidak bisa menolongmu karena aku pun butuh pertolongan, pikirku. Aku bergerak menjauh dari sisi kolam. Membiarkannya kembali tertunduk di dasar kolam. Sejenak aku terhenti. Membayangkan bagaimana jika tak ada satu pun orang yang repot-repot menjemputnya paksa untuk keluar dari kolam? Dapatkah ia bertahan di tengah membekunya suhu air di bawah sana? Jika bukan aku, apakah ia... akan... mati?

Seratus dua ratus meter dari bibir kolam. Aku tetap melanjutkan perjalananku yang melelahkan tanpa tahu akhirnya akan bagaimana. Berusaha menjadi orang yang tidak melihat kejadian barusan. Aku menyadari, apa bedanya yang kulakukan tadi dengan orang dewasa yang selama ini kubenci? Aku tertunduk malu dan menyadari begitu bodohnya diriku. Mengulang kembali kesalahan yang sama. Mengabaikan suara dirimu sendiri. Tidak pernah mengutarakan apa maumu, apa yang membuatmu bahagia.

Hingga kaki ini tanpa kuperintah berbalik pada kolam itu. Kuceburkan tubuhku ke dasar kolam dan mendapatinya masih tertunduk. Kuraih tangannya hingga ia melihatku dengan mata warna biru langit malam itu. Ah,,, mata itu, kini aku benar-benar tenggelam karenanya. Ia menggenggam tanganku, memelukku erat. Apakah kami akan sama-sama tenggelam atau akan muncul kepermukaan setelah itu? Kami tidak mau tahu, yang jelas ia tidak akan kesepian, tidak akan sendirian lagi.

(25/3/2021)

[1] Le Petit Prince – Antoine De Saint-Exupery

Anak Laki-Laki Di Dasar Kolam

Tags
1 month ago

Memilih Hidup

Begitu banyak manusia yang ingin menyerah dan mengakhiri hidup. Terkadang, nggak jarang mereka punya apa yang kita nggak miliki. Uang, usia muda, badan yang masih sehat, masih banyak lagi.

Keinginan untuk nyerah pasti ada dan terus berulang datang. Tapi aku punya alasan untuk memilih hidup. Bukan karena orang tua, keluarga, saudara, bukan juga sahabat.

Aku dilahirkan dalam keadaan baik dan aku cuma ingin pulang dengan keadaan yang baik juga.

Menjaga amanah tubuh yang sudah dikasih sebaik mungkin sama Tuhan sampai nanti. Sampai, insya Allah, ketemu lagi sama Tuhan. Kamu juga harus mencari alasanmu sendiri untuk bisa bertahan hidup.

Kalau rasa negatifnya datang, bawa di dalam doa malam. Ingat, Tuhan (dan aku) nggak ingin kamu sedih. La tahzan innallaha ma'ana.

Kalau belum hilang juga, bawa dalam doa pagimu. Ada satu surat yang khusus diturunkan untuk ngingetin, kalau kita nggak pernah ditinggalin sama Tuhan. Ad Dhuha yang cuma 11 ayat aja.

Ada begitu banyak rahmat Tuhan yang dikasih untuk manusia, lebih dari yang mereka tau. Makanya Tuhan nggak pengin kita menyia-nyiakannya.

Orang tua, keluarga, saudara, sahabat, ga akan selalu ada, tapi Tuhan nggak akan pergi ninggalin. Dia akan terus kasih rahmat, petunjuk, dan kecukupan sampai batas waktu yang ditentukan.

25/4/2025


Tags
5 years ago

Night of Contemplation

Have you ever feel, “it's hard to smile when you feel such a pain in your chest?”


Tags
4 years ago

Kangen

Kangen

@miakamiya

Belakangan ini rindu banget pengin ketemu teman-teman lama. Bagaimana keadaan mereka? Apa enggak pernah terbersit dalam benak mereka untuk sekadar bertanya kabar saja? Ketika kangen, pasti orang kirim teks ke mereka yang dikangenin. Tapi mereka enggak. Setelah melihat mereka menikah, seperti kehilangan teman jalan, teman curhat, teman gosip, teman otaku, teman ngaji. 

Kebanyakan alasannya sibuk mengurus suami dan anak. Okelah anak, tapi suami? manusia dewasa itu tidak bisa mengurus dirinya sendiri? Yah, begitulah mayoritas masyarakat, kalau laki-laki tidak bisa masak, tidak bisa setrika baju atau mencuci piring makannya sendiri, dianggap lumrah. Tapi, kalau wanita? jangan ditanya, bakal di-julid-in deh sama emak-emak--sesama perempuan, yang harusnya mengerti, kalau wanita bisa menjadi wanita karier, seorang ibu, seorang istri, maka sepatutnya laki-laki pun bisa berperan ganda.

Anw, balik lagi ke rasa kangen itu. Ada kalanya ketika sudah punya rasa kangen, sudah membayangkan buat ketemuan, melihat kayak apa mereka sekarang. Apa yang sudah mereka lalui tanpa kita di sampingnya. Membayangkan keseruan ngobrol nantinya. Cerita-cerita masa lalu, ketawa-ketiwi ingat zaman masih polos, enggak ada beban, dan tema ngobrolnya enggak jauh-jauh dari kesukaan yang sama, komik, novel, film, games, banyak lagi deh.

Apa mereka sudah lupa itu semua? Kenapa cuma gw yang masih tertinggal sama ingatan itu, sedangkan mereka sudah berlari meninggalkan gw di belakang. Logika menyuruh untuk berdamai dengan masa lalu--maju ke depan. Tapi, kaki rasanya masih berat. Semua kenangan itu terlalu berharga buat dilupakan. Enggak ngerti kenapa mereka dengan mudahnya membelakangi dan kemudian berlari dari semua itu.

Seperti ditinggalkan dalam kota yang terus berubah. Cuma bisa melihat dari kejauhan, orang-orang yang berlalu-lalang--datang dan pergi. Lalu diberitahu oleh musim sudah bergonta-ganti, bahwa semuanya memang sudah berakhir. Aku mengemasi kenangan penuh warna ke dalam koper masa lalu dan mengucapkan selamat tinggal pada orang-orang yang dulu telah memberikan arti persahabatan dan petualangan.

Kadang merasa kosong, makin enggak suka keramaian, makin tenggelam dengan kesendirian. Kadang menenangkan, tapi sering juga kesepian. At least, mereka bahagia. Melihat teman-teman dekat sudah menjalani kehidupannya, cuma bisa bersyukur, mereka dijaga sama pasangan yang baik.


Tags
Loading...
End of content
No more pages to load
  • heveluv
    heveluv liked this · 2 years ago
  • malamkontemplasi
    malamkontemplasi reblogged this · 2 years ago
malamkontemplasi - Malam Kontemplasi
Malam Kontemplasi

Ketika pertanyaan "kenapa" terus muncul menjelang tidur, di malam itulah kita sering berkontemplasi, meresapi makna hidup, sebab-akibat perbuatan antara manusia satu dan lainnya. Percaya tak percaya, hukum kausalitas membentuk benang koneksi yang tidak akan berhenti. Saling terjalin membentuk pola kehidupan yang begitu indah terbentang. Lambat laun waktu menjawab pertanyaanmu satu per satu.

20 posts

Explore Tumblr Blog
Search Through Tumblr Tags