Curate, connect, and discover
"If men could get pregnant, abortion clinics would be like Starbucks. There would be two on each block and four in every airport. And the morning after pill would come in different flavors like sea salt and cool ranch." - Someone on Pinterest
I don't agree with you. Feminism doesn't mean men hate in anyway. Feminism stands for equality in rights and opportunities of both sexes. Doing what men have done since forever will result in the same cycle repeating some day in the future. The point is to get rid of this notion of power being held by one of the sexes or one being superior than the other.
Forcing men into household chores and women into the outside world is doing what men did long ago, just roles reversed. The point is to let women who want to pursue a career, do it. And also, letting women who want to spend time on their families, do it without making them feel bad about not being the cool business woman she doesn't even want to be.(That too if her partner is okay being the sole provider). This should also be equally acceptable if the roles are reversed.
Ultimately, feminism seeks to create an inclusive society where everyone can live according to their own preferences, irrespective of traditional gender stereotypes, a society where choices are respected and supported without judgment, where partners support each other equally.
miss le guin wrote an antiwar, anti-fear, anticapitalist book about physically inuit-coded agender space beings with a black man scientist protag who narrates in first person and falls in gay love with the most noble interesting 4-dimensional alien.. in 1969
no excuses from those who write fantasy in 2018
There is a long history of gassing and caging children. Don’t forget!
@miakamiya
Mirah menatap sepiring nasi uduk sisa dagangan Mak pagi itu. Meski hanya menjual nasi uduk saja, setiap pagi nasi uduk Mak memiliki rasa berbeda.
Entah orek tempe yang agak keras, bawang goreng layu, atau bihun yang kaku. Ya, bihun yang sudah dimasak itu kembali agak kaku dan menempel karena terlalu lama mendiami wadah rantang yang terpapar panas matahari di atas meja dagangan.
Mak, seperti biasa, mondar-mandir antara dapur dan meja dagangan. Mulutnya sibuk mengoceh sejak awal selepas Mirah menyendok nasi uduk dari termos nasi.
“Duit dari mana? Ini Mak susah-susah dagang buat kamu sekolah supaya kamu lekas kerja, Mir.”
“Opo kamu ora kasian liat Mak capek kerja sampe kamu lulus?”
“Bukannya bantuin Mak kerja, kamu malah bilang mau kuliah. Koyok Mak mu ini wong sugih wae.”
Mata Mirah pedih, kupingnya panas mendengar perkataan Mak. Meski begitu, Mirah bergeming.
Mulutnya sibuk mengunyah, sementara matanya menatap kosong sarapannya itu. Nasi uduk pagi buatan Mak selalu terasa hambar akibat ucapan Mak yang itu-itu melulu.
Kenapa musti Mirah yang mengalah, Mak? Apa Mirah tak berhak berusaha dapat yang Mirah mau? Cita-cita bak barang mewah bagi keluarga ini.
Anak-anak dilahirkan seperti hanya sebuah alat untuk menambah kantong pemasukan mereka. Apa aku dilahirkan hanya untuk itu?
Aku tahu aku dilahirkan dari keluarga tak punya, tapi wajibkah aku mengikuti seluruh ucapan mereka? Mereka mengatur hidupku menjadi apa yang mereka dikte.
Mereka menyalahkan takdir miskin yang mereka alami sebab aku dan adik-adikku lahir. Pemasukan mereka harus dibagi untuk kelima anak-anaknya.
Kenapa mereka tidak berusaha mengubah nasib mereka sendiri, sebelum menyuruh orang lain untuk mengubah nasib mereka? Sehingga ketika kami lahir, kami berada di keluarga yang cukup dan pernyataanku, “Mak, Mirah mau kuliah,” tidak menjadi cerita panjang saat sarapan pagiku.
Mak, seandainya Mirah benar angkat kaki, apakah Tuhan langsung melabeliku “anak durhaka”? apakah Tuhan tidak suka dengan hambanya yang ingin sekolah lagi? Apakah Tuhan tak senang melihat hambanya pintar? Apakah Tuhan tak ingin melihat hambanya berusaha mengubah takdirnya?
“Kapan Mak nimang cucu? Bagi Mak sekolah sampai SMA sudah cukup yang penting bisa itung-itungan toh, moco karo nulis. Kalo kamu kuliah kapan Mak istirahatnya, emang kowe ra kasian?”
“Ra usahlah sekolah tinggi-tinggi nanti kamu bakalan kayak Mak, di rumah, di dapur, urus keluarga juga.”
“kalau masih mau lanjut Mak nggak bisa kasih uang buat adek-adekmu sekolah, kamu mau mereka lulusan SD? Dibodoh-bodohi orang nanti, hah?”
“Mak dulu kawin sama Bapakmu umur 17, nggak punya biaya juga buat sekolah, Mak kerja seusia kamu.”
“Nanti apa kata orang, Mak punya perawan tua, kelamaan sekolah, nanti laki-laki di sini nggak mau nikah sama kamu. Kamu mau Mak diomongin sama tetangga, gitu?”
Entah mengapa, setiap kata-kata yang Mak keluarkan, ia menangkap rasa takut dari Mak. Seperti tersirat jika Mirah kuliah ia nantinya akan punya uang dan bekerja di Jakarta setelah lulus. Ia akan meninggalkan Mak dan tak akan kembali ke rumah.
Cuma kata-kata yang menakut-nakuti saja yang Mak keluarkan dan hendak meragukan keinginanku—yang kata Mak hal itu merupakan keegoisanku. Mirah tersenyum getir di sela-sela mengunyah nasi dan orek tempe dalam mulutnya.
Mirah melahap nasi terakhir dan kerupuk sebagai penutup. Ia membawa piring kotor ke dapur, lalu mencucinya. Selepas meletakkan piring dan sendok, Mirah berbalik ke arah Mak yang memunggunginya.
“Mak, Mirah dapat beasiswa kuliah di Jakarta.”
28/8/2020
My mom didn't like that they represented men as fools in Barbie but then I told her, "Barbieland is a representation of the real world but in reverse, where the Barbies are men and the Kens are women. And if you think about it, Barbieland is made from the 'female gaze' (Barbies/men), and just like in many situations in real life the products made from the male gaze -like movies- represent women as fools and nothing more than an object, an accessory of man."