Kalau sudah cantik dan wangi begitu, harusnya langsung duduk di atas mukaku. Yang kamu bilang berat itu, adalah beban yang ditempa hidup pada perempuan jelita seperti kamu. Duduk, istirahatlah di atasku, biar aku bantu muntahkan emosi liar yang kamu pendam sejak kemarin.
— Gombalan Klise, pada kekasih bayangan yang belum jadi kepunyaan.
“Apa betul yang datang padamu adalah kasih setia tak bertepi, ataukah kesepian yang sedang mengerubungi sanubari waras?” adalah tanyaku yang tak mampu dibisikkan padamu, sehingga aku beralih pada mencari ganggang yang tumbuh liar di sungai-sungai kumuh Jakarta. Betul-lah itu, bahwa aku tak tahan dengan busuknya limbah, tapi aku pun tak lebih tahan untuk hidup tanpa menulis tentangmu barang sehari saja.
Dan inilah aku dan rasa tak sampaiku padamu Sang Bintang kecil yang berkelip terang nun jauh di samudera misteri Bimasakti, sungguhlah berani yang bodoh, bagi lumpur di pinggiran Ciliwung untuk mendamba kejora yang cantiknya kekal beribu tahun.
Berduka-lah aku dan hatiku, seketika merasa seperti debuan aspal proyek yang tak kunjung selesai, terbengkalai dan menyusahkan, hanya bisa mengangakan mulut menerima serpihan batu kerikil yang terlempar ke dalam perut dan bertemu asam lambung.
October 28th 2024
Tempat ini sudah di ujung batas porak-poranda -oh, atau memang sudah porak-poranda? (Kami rasa iya).
Tikus-tikus gembrot sibuk nikmati pesangon; rakus mengais sambil tersenyum licik macam iblis! (Sudah bukan macam lagi, tapi kami rasa mereka memang iblis).
Tangis kami dilewatkannya kuping kanan, tapi keluar kuping kiri; macam mereka dulu waktu sekolah kala dengar nasihat-nasihat ibu dan bapak guru (pantas, kan; mereka semua dungu dan tidak tahu malu).
Hidup di neraka kami rasa lebih baik; neraka setidaknya menghukum sesuai dosa kami. Tapi di tempat ini, yang bahkan iblis neraka saja macam tak sudi menginjakkan kaki karena kalah keji dengan iblis-iblis berdasi, dihukum atas dosa-dosa yang bukan milik kami. (Najis, *puih puih*).
Tuhan, bisa tidak? Kirim kami obat racun tikus paling ampuh?
# IndonesiaGelap.
This book reveals a truth that happened nearly 50 years ago, yet the similar situation still resonates and reflects in our today's reality. Nawal El Saadawi, through the brief interview with Firdaus (a woman who get imprisoned by the authority after killing a man), expose the corruption caused by deeply rooted patriarchal society in Egypt. After that interview, Firdaus was taken away in front of Nawal to face her punishment. She may no longer with us, but all over the world, the same story still happened, torturing, and scaring women. There are still many others like Firdaus, suffering under the flawed society.
Reading this book felt so empowering yet heartwrenching. But more of it, this book should leave us an uncomfortable feeling, making one's mind unable to stop thinking about the terrible systems that still existed and maintained. How many women remain unheard when facing violence and assault, only to be arrested and punished for defending themselves?
"Firdaus symbolized resistance. As she said: My life means their death; it is not my knife they fear but the truth."
The only downside of this book is in the physical aspects. The translation is still rough, with some typos here and there, even when I have the newest edition. The message of this book would be better conveyed and understood if the translation were updated and more carefully reviewed.
(Image Credit: me)
Penulis : Pat Grogan dan Evelyn Reed
Tebal: 90 halaman
Penerbit: Penerbit Independen
Kategori : Feminisme dan Sosial.
Nilai : 9/10
Pat Grogan dan Evelyn Reed telah mencurahkan akumulasi pengetahuan mereka selama bertahun-tahun ke dalam 90 halaman buku, dengan pelbagai teori, argumentasi, pengalaman ketubuhan serta penelitian untuk menegaskan—bahkan memperjuangkan sesuatu yang seharusnya memang berada dibawah kendali perempuan. Aku tidak mengerti kenapa buku ini bahkan harus ditulis, dan kenapa muatan dari buku ini terasa seperti pengetahuan baru bagiku. Seharusnya perempuan memang mengetahui bahwa mereka memiliki hak atas aborsi, hak untuk menimbang dam memilih apakah sel yang tumbuh di rahim mereka—ya milik mereka—akan mendapat kesempatan untuk tumbuh menjadi anak atau tidak.
Menurutku sebagai pembaca, Grogan dan Reed menulis buku ini dengan apik, dimulai dari sebuah peringatan bahwa para penguasa telah menggunakan isu aborsi untuk mengkonstruksi perkelahian antar buruh perempuan. Hak kita sendiri ternyata digunakan sebagai alat untuk menciptakan konflik horizontal, sehingga alih-alih memerangi sistem dominasi maskulin atau hukum yang tidak memihak perempuan, warga sipil malah saling dipertentangkan.
Mereka juga menegaskan bahwa ketika hak perempuan untuk memutuskan atas tubuhnya dirampas, bukan hanya kebebasan mereka yang dipertaruhkan, tetapi juga masa depan mereka—hak untuk menentukan kapan atau apakah mereka ingin menjadi seorang ibu. Ini bukan sekadar isu hukum, tetapi juga soal keadilan sosial. Negara yang melarang aborsi bukan hanya merampas hak dasar perempuan, tetapi juga membahayakan hidup mereka dengan memaksa mereka mencari jalan yang tidak aman.
Grogan dan Reed menyajikan fakta bahwa negara-negara yang melegalkan aborsi dengan layanan kesehatan yang baik justru memiliki tingkat aborsi yang lebih rendah dibandingkan negara yang melarangnya. Akses terhadap pendidikan seksual yang komprehensif dan alat kontrasepsi yang mudah dijangkau terbukti lebih efektif dalam menekan angka kehamilan tidak diinginkan dibandingkan dengan kriminalisasi.
Namun, yang membuat buku ini begitu kuat bukan hanya data dan analisisnya, tetapi juga cara penulis mengangkat pengalaman perempuan yang dipaksa melahirkan, yang kehilangan nyawa karena aborsi ilegal, yang dihukum karena memilih hidup mereka sendiri di atas kehendak negara.
Membaca buku ini rasanya seperti dihadapkan pada kenyataan yang seharusnya tidak perlu kita hadapi—bahwa hak atas tubuh sendiri masih harus diperjuangkan mati-matian. Grogan dan Reed tidak menulis untuk memberi kita pengetahuan baru, tapi untuk mengguncang kesadaran kita.
Abortion is a healthcare!
Lucerys wip that I desperately need to finish/edit
I liked Henry. It was happened rather naturally due to the tendency of mine to like cold and mysterious characters. The book synopsis on the book, will not giving you anything rather than a thought of 'ah this book is about students who discovered about the lost history from Ancient Greek and the fact is they're going to change the world with their discovery'. Mind you, I wasn't a Penguin Publisher collector/reader type of girl. Rather, I am more like 'I read what I want and what my heart desired, whenever I want'. So to be frank, this was my very first 500+ pages English novel that I could finish. Which is surprising cause I remember I bought this book only for the aesthetic.
The beginning of the book was so brutal, with the fact that someone has died, not just died but murdered. What a start, isn't it? But it's classic, it ought to be mysterious and made you uncomfortable to sleep without knowing what happen next. The thing about this type of book (modern classic), you'll know that this is a masterpiece when the first sentence of the book was about death.
I lost my words, to be honest. But me, here, right after finishing the book, not for criticizing the book, but only to stay sane. The thing that solely going through my mind is how furious I am yet I feel so empty cause this book is just end like that. Not giving me enough closure that I need!
I almost hate everyone in this book, even with Bunny. But then, by the end of the book, I pity myself. I pity myself for even mad at them all.
Bring back my sanity. I pity myself for not even mad at their wrong-doings to Bunny
And we might be a 'Richard Papen' somewhere in our life. Looking for place where we can feel desired, needed, and would never get left behind.
thinking about how richard papen was so desperate to find somewhere to belong because of the broken family he came from and he was obsessed with the exclusive class and after joining them he started resembling them, picking up their habits and their attitude, all because he wanted a family, to be included, and yet even after he joined them he still remained an outsider up until the very end. “your worst sin is that you have destroyed and betrayed yourself for nothing” is so richard papen
"I'm a woman written in a cryptic dead language."
Source : 📍 pinterest
𝔞𝔣𝔱𝔢𝔯𝔫𝔬𝔬𝔫 𝔠𝔬𝔣𝔣𝔢𝔢 𝔞𝔫𝔡 𝔰𝔦𝔩𝔢𝔫𝔠𝔢 ☕️
Caffeine helps going through everyday shits Indonesian government throws at its people.
[𝟮𝟬+ & 𝗧𝗮𝘂𝗿𝘂𝘀!] Beauty is terror, yet we want to be devoured by it; A devoted Henry Winter defender.
77 posts