I Was In Periplus Setiabudi One Central Jakarta To Meet A Friend Of Mine. A Funny Story Behind This Meeting

I Was In Periplus Setiabudi One Central Jakarta To Meet A Friend Of Mine. A Funny Story Behind This Meeting
I Was In Periplus Setiabudi One Central Jakarta To Meet A Friend Of Mine. A Funny Story Behind This Meeting
I Was In Periplus Setiabudi One Central Jakarta To Meet A Friend Of Mine. A Funny Story Behind This Meeting
I Was In Periplus Setiabudi One Central Jakarta To Meet A Friend Of Mine. A Funny Story Behind This Meeting

I was in Periplus Setiabudi One Central Jakarta to meet a friend of mine. A funny story behind this meeting is that we were bonding over mutual interest in the novel The Secret History. She and I have the same favorite character, which obviously is Henry Marchbanks Winter. That was our second meeting, so it wasn't that awkward anymore.

I am also thankful that I was able to bring two of my book wishlists: Any Ozamu Dazai's book and Normal People by Sally Rooney. Honestly, I wasn't planning to bring The Setting Sun home because I intended to buy the other one, No Longer Human. Due to the availability of No Longer Human's old cover book, I chose to bring The Setting Sun instead. The publisher of Osamu Dazai books, which version I bought, has a distinctive book cover style that matches each other. These beautiful covers surely would be my priority wishlist for the next year.

I Was In Periplus Setiabudi One Central Jakarta To Meet A Friend Of Mine. A Funny Story Behind This Meeting
I Was In Periplus Setiabudi One Central Jakarta To Meet A Friend Of Mine. A Funny Story Behind This Meeting
I Was In Periplus Setiabudi One Central Jakarta To Meet A Friend Of Mine. A Funny Story Behind This Meeting
I Was In Periplus Setiabudi One Central Jakarta To Meet A Friend Of Mine. A Funny Story Behind This Meeting

Due to many new activities I've had these past 2 months, I am trying my best now to start reading again and stacking that habit once again so I won't easily fall into a reading slump. I have not even been able to finish my current read since November. Not because the book is boring, but it was just me who gets tired easily to even be done with 10 pages minimum.

But, all good now, at least I'm trying and actually do read, although it's quite hard to beat my sleepiness.

More Posts from Perpetual-peace and Others

3 weeks ago
I'll Be Free. I Have To Be Free.
I'll Be Free. I Have To Be Free.
I'll Be Free. I Have To Be Free.

I'll be free. I have to be free.


Tags
7 months ago
"I'm A Woman Written In A Cryptic Dead Language."
"I'm A Woman Written In A Cryptic Dead Language."
"I'm A Woman Written In A Cryptic Dead Language."
"I'm A Woman Written In A Cryptic Dead Language."
"I'm A Woman Written In A Cryptic Dead Language."
"I'm A Woman Written In A Cryptic Dead Language."

"I'm a woman written in a cryptic dead language."

Source : šŸ“ pinterest

1 month ago
March Is Tough; Hence, Life Still Needs To Go On.
March Is Tough; Hence, Life Still Needs To Go On.
March Is Tough; Hence, Life Still Needs To Go On.
March Is Tough; Hence, Life Still Needs To Go On.
March Is Tough; Hence, Life Still Needs To Go On.
March Is Tough; Hence, Life Still Needs To Go On.

March is tough; hence, life still needs to go on.


Tags
9 months ago

Saturday's study log and reflections.

Saturday's Study Log And Reflections.
Saturday's Study Log And Reflections.
Saturday's Study Log And Reflections.
Saturday's Study Log And Reflections.

Jakarta on that Saturday was quite solemn, despite the news that has broken so many people's hearts. People—from high school students to middle- and lower-class workers, individuals to organizations and political parties—took to the streets (specifically in front of the House of Representatives at Senayan and the KPU - General Elections Commission - at Menteng) to protest recent political events that felt like violations of Indonesia's fundamental laws. The protests began on August 22, 2024, and continued on August 23 and August 24, although the last two days weren't as massive as the first.

As someone who studies Human Rights and a small portion of international law, what these masses of people did in Jakarta and other cities in Indonesia is solid evidence of how people in this country still love democracy and want it to remain the government's solemn system. The protests they voiced (and will keep voicing until their goals are accomplished) help to restore the checks and balances that the government of Indonesia seems to have forgotten, as they have become drunk with power.

Many protesters were hurt, and some even lost their eyes. It's heartbreaking that the cost of democracy is the blood of its own people who need it the most.

This massive event reflects what I've been studying these past two months in my EDX course: Human Rights, Human Wrong. I've learned how a government can be both the protector and the abuser of its own people. What happened in Indonesia is a clear example. This realization has deepened my understanding of the delicate balance required to maintain a just society and the courage needed to stand up against injustice.

I may not take part in the protest directly, but let me do my part by sharing the stories of people who came back home safely and how they cried about their friends' brutal abductions by police. Let me share the screams for justice of people who are moving en masse to regain the utmost power of democracy. Their courage and determination inspire me to use my voice to amplify their cause, ensuring that their struggles are not forgotten.

Let the government realize how easily they can gain power, and how easily it can slip away from their hands. Democracy is not just a system but a living, breathing entity that requires constant vigilance and care from both the governed and those who govern.

Saturday's Study Log And Reflections.

Tags
2 months ago

Aku dan pikiranku yang terkutuk.

PERINGATAN: TULISAN DEWASA.

Bukankah sedari awal kita mengetahui ini? Enam hari, enam hari yang berharga selamanya akan berakhir menjadi memori pada ruang ide, terkungkung di sana.

Alih-alih bersedih, kita justru di sini—ditemain teh, kue dan bunga. Aku sebetulnya gelisah dalam dudukku, haruskah kita benar-benar merayakan perpisahan ini? Sebab malam setelah kita semua meneguk teh seolah itu air teduh, kita tak lagi punya alasan untuk berkumpul bersama.

Akhirnya, atas upaya melampaui batas ruas khayal, aku menggerakkn kuasa dan meraih sebuah cangkir kosong yang disiapkan oleh Mbak Lia dan Shaka—dua orang yang belakangan ini menjadi sabitah penuh afeksi pada langit malam yang kerap kupandang, atas titahnya yang masih penuh kasih, aku diminta untuk menghias cangkir ini.

Sebuah cangkir putih—kosong, entah mengapa malah mengingatkan ku pada seseorang. Ah, mengapa perasaanku cepat sekali berubah? Tadi aku laiaknya catatan kecil berbuku sendu yang nyaris merenggus, sekarang aku justru tertunduk malu-malu menyadari sisi wajahku yang memerah sebab akalku tengah membayangkan presensi seseorang.

Sedang apa cantikku itu, ya? Apakah ia sedang menunggu kepulanganku di atas kasur kami? Menggunakan gaun pendek selutut berwarna merah muda yang nampak cantik untuknya—ataukah ia tengah bersenandung pada ruang tamu kami, menggerakkan tubunya kesana kemari laksana bayi serigala yang merayu sabana dan tanah-tanah basah?

Aku berupaya meraih sisa kewarasanku di sana, buru-buru—aku menggemgam sebuah kuas untuk melukis, ujung kuas tersebut kucelupkan pada pewarna minyak yang telah disediakan, aku berupaya menorehkan warna di sana—tetapi mengapa detak jantungku bertalu-talu? Mengapa kepalaku seolah dipaksa untuk mengingat tentang kamu? Ah? Sayangku, apa bilah bibirmu yang tak habis kucecap semalam penuh itu mengandung afrodisiak?

Akhirnya, aku membentuk sebuah pola abstrak, laiaknya rambutmu yang bergerak berlawanan arah ketika aku mengusaknya—atau ketika kamu menggeliat sebab aku menggelitiki permukaan kulitmu, sebab aku terbuai oleh gemas tubuhmu. Bolehkah aku melukiskan taman surga pada permukaan cangkir ini?

Gila—aku gila, sebab aku tak percaya surga.

Tetapi aku kerap mencarinya pada lelukmu.

Yang kuingat, kamu kerap menjadi kertas putih sedang aku adalah ujung pena berputar dan tuangan tinta nyata dari kebebasan. Bait demi baitku menjamah bibirmu—aku tengah berupaya membasahi setiap kata, menggelitik setiap penanda jeda. Di antara tubuhmu, ada beberapa kalimat taksa, aku jadi lebih menggebu untuk mengetahuinya. Maka, aku melantunkan syair, kamu jadi puisi erotis yang terus aku jamah.

Aku basah oleh cairan teratai merah sedang kamu jadi bunga berwarna merah yang paling merekah—oh? Haruskah kugambarkan saja bunga berwarna merah di atas cangkir kosong ini? Bunga indah selaiaknya kamu yang membuatku menjadi manusia paling serakah.

Aku lantas melukiskan rasa pada cangkir yang diberi padaku—memproyeksikannya seolah itu tubuhmu yang kerap kucumbu, seolah permukaannya adalah lekuk yang kerap kulekaskan. Pewarna minyak yang kugunakan telah memenuhi cangkir tersebut oleh bunga-bunga yang kugambar sembari mengingat dirimu dan penyatuan kita yang berlinang-linang sebab euforia.

Aku ingat kamu memiliki tattoo kecil pada bagian atas dadamu—sayang. Tentu, yang itu biar menjadi milikku saja, biar tersembunyi dibalik pintalan benang yang hangatkan tubuhmu jika tubuhku sedang tak bisa. Aku memang serakah, indah atasmu biar terbelenggu dalam kehendakku, dalam akalku. Kutulis sebuah kata dengan tinta hitam pada ujung cangkir yang tadi kuhias, kata yang selalu mengingatkanku padamu.

Ah, aku jadi rindu ketika kita jadi satu dalam dekapmu.

Menjelajah hingga ke inti tubuh dan melerai norma yang pagu.

Aku memutuskan untuk mengabadikan gambar tadi lantas mengirimkannya pada kekasihku—sengaja kutulis dengan pesan menggoda di sana, ia pasti akan membalsnya dengan wajah setengah merona sebab setengahnya lagi berniat memukul kepalaku. Padahal, jangankan dipukuli, aku selalu siap jika harus bersujud di antara kedua kakinya atau memikul beban tubuhnya.

Setelahnya, kami diminta untuk menyusun bunga yang masing-masing telah dibatasi maknanya berdasarkan huruf tertentu.

Sayangku, sejatinya aku siap merangkai namamu di sana. Tetapi aksara yang jelaskan tentang dirimu tergubah menjadi kontradiksi paling menggairahkan, seolah yang bisa dilakukan oleh jemariku hanya melecuti pakaianmu hingga kita melebur bersama ego.

Aku mengutuk keserakahan manusia—tetapi nyatanya aku serakah atas dirimu. Sekali lagi aku menaru curiga, pada bilah bibirmu yang basah dan berhias untaian saliva, apakah ada afrodisiak di sana?

Buket bungaku lantas berhias bunga dengan tiga warna—objek yang kuanggap memanifestasikan dirimu, indahnya kamu—hingga membias setiap lara dalam lekuk jiwaku. Menghunus memenuhi setiap relungmu.

Ah kepalaku pening, kutuk lah aku. Maki lah aku yang kini tengah membayangkan elok tubuhmu di tengah keramaian, sayang.

Aku lantas melepas buket bunga yang telah kuhias tadi, kuletakkan dengan penuh hati-hati seolah itu kamu yang kerap terbaring di atas ranjang kita. Timpaniku tersihir merindukan kamu yang meneriaki namaku penuh peluh tetapi masih meminta untuk tetap basah.

Akalku penuh oleh bayang dirimu hingga aku lupa, setelah ini—setelah ini aku akan penuh duka sebab harus berpisah.

Aku Dan Pikiranku Yang Terkutuk.
2 months ago

Ulasan, Aborsi adalah Hak Perempuan

Penulis : Pat Grogan dan Evelyn Reed

Tebal: 90 halaman

Penerbit: Penerbit Independen

Kategori : Feminisme dan Sosial.

Nilai : 9/10

Pat Grogan dan Evelyn Reed telah mencurahkan akumulasi pengetahuan mereka selama bertahun-tahun ke dalam 90 halaman buku, dengan pelbagai teori, argumentasi, pengalaman ketubuhan serta penelitian untuk menegaskan—bahkan memperjuangkan sesuatu yang seharusnya memang berada dibawah kendali perempuan. Aku tidak mengerti kenapa buku ini bahkan harus ditulis, dan kenapa muatan dari buku ini terasa seperti pengetahuan baru bagiku. Seharusnya perempuan memang mengetahui bahwa mereka memiliki hak atas aborsi, hak untuk menimbang dam memilih apakah sel yang tumbuh di rahim mereka—ya milik mereka—akan mendapat kesempatan untuk tumbuh menjadi anak atau tidak.

Menurutku sebagai pembaca, Grogan dan Reed menulis buku ini dengan apik, dimulai dari sebuah peringatan bahwa para penguasa telah menggunakan isu aborsi untuk mengkonstruksi perkelahian antar buruh perempuan. Hak kita sendiri ternyata digunakan sebagai alat untuk menciptakan konflik horizontal, sehingga alih-alih memerangi sistem dominasi maskulin atau hukum yang tidak memihak perempuan, warga sipil malah saling dipertentangkan.

Mereka juga menegaskan bahwa ketika hak perempuan untuk memutuskan atas tubuhnya dirampas, bukan hanya kebebasan mereka yang dipertaruhkan, tetapi juga masa depan mereka—hak untuk menentukan kapan atau apakah mereka ingin menjadi seorang ibu. Ini bukan sekadar isu hukum, tetapi juga soal keadilan sosial. Negara yang melarang aborsi bukan hanya merampas hak dasar perempuan, tetapi juga membahayakan hidup mereka dengan memaksa mereka mencari jalan yang tidak aman.

Grogan dan Reed menyajikan fakta bahwa negara-negara yang melegalkan aborsi dengan layanan kesehatan yang baik justru memiliki tingkat aborsi yang lebih rendah dibandingkan negara yang melarangnya. Akses terhadap pendidikan seksual yang komprehensif dan alat kontrasepsi yang mudah dijangkau terbukti lebih efektif dalam menekan angka kehamilan tidak diinginkan dibandingkan dengan kriminalisasi.

Namun, yang membuat buku ini begitu kuat bukan hanya data dan analisisnya, tetapi juga cara penulis mengangkat pengalaman perempuan yang dipaksa melahirkan, yang kehilangan nyawa karena aborsi ilegal, yang dihukum karena memilih hidup mereka sendiri di atas kehendak negara.

Membaca buku ini rasanya seperti dihadapkan pada kenyataan yang seharusnya tidak perlu kita hadapi—bahwa hak atas tubuh sendiri masih harus diperjuangkan mati-matian. Grogan dan Reed tidak menulis untuk memberi kita pengetahuan baru, tapi untuk mengguncang kesadaran kita.

Abortion is a healthcare!

Ulasan, Aborsi Adalah Hak Perempuan
8 months ago

What is poetry if not politics? Buried deep beneath the blots of ink lie true intentions and harsh realities. A reflection of our contemporary world.

What is poetry if not a submission? A portrait in the nude. Flesh to be groped, vulnerable to a penetrative gaze.

What is poetry if not a reaping? One's mind ripped apart in fragments, strewn on parchment, thoughts to be devoured. Slow, agonizing death.

9 months ago
Sehat Selalu Rakyat Indonesia Dan Perjuangan Mereka :'')

Sehat selalu rakyat Indonesia dan perjuangan mereka :'')

šŸ‡®šŸ‡©šŸ‡®šŸ‡©šŸ‡®šŸ‡©

(context for non Indo moots)

the next president is a military general who work for a tyrant dictator in the past. He is a war criminal and even now most victim still have no enclosure or justices. while the vice president is the son of the former president who try to justify all means to extend more power and money. Right now they even changes the min ages requirement so Kaesang (pres son) can becomes a ruler too. So people post this pic as protest act. 

also you know the country is not fine  the fact that EVEN  NSFW TWITTER ACCOUNT POST THIS !! Lord have mercy :'D

Tags
Loading...
End of content
No more pages to load
  • florallyreading
    florallyreading liked this · 5 months ago
  • meetlyss
    meetlyss liked this · 5 months ago
  • perpetual-peace
    perpetual-peace reblogged this · 5 months ago
perpetual-peace - Pax Vobiscum, Peace Be With You
Pax Vobiscum, Peace Be With You

[šŸ®šŸ¬+ & š—§š—®š˜‚š—æš˜‚š˜€!] Beauty is terror, yet we want to be devoured by it; A devoted Henry Winter defender.

77 posts

Explore Tumblr Blog
Search Through Tumblr Tags