Jakarta on that Saturday was quite solemn, despite the news that has broken so many people's hearts. People—from high school students to middle- and lower-class workers, individuals to organizations and political parties—took to the streets (specifically in front of the House of Representatives at Senayan and the KPU - General Elections Commission - at Menteng) to protest recent political events that felt like violations of Indonesia's fundamental laws. The protests began on August 22, 2024, and continued on August 23 and August 24, although the last two days weren't as massive as the first.
As someone who studies Human Rights and a small portion of international law, what these masses of people did in Jakarta and other cities in Indonesia is solid evidence of how people in this country still love democracy and want it to remain the government's solemn system. The protests they voiced (and will keep voicing until their goals are accomplished) help to restore the checks and balances that the government of Indonesia seems to have forgotten, as they have become drunk with power.
Many protesters were hurt, and some even lost their eyes. It's heartbreaking that the cost of democracy is the blood of its own people who need it the most.
This massive event reflects what I've been studying these past two months in my EDX course: Human Rights, Human Wrong. I've learned how a government can be both the protector and the abuser of its own people. What happened in Indonesia is a clear example. This realization has deepened my understanding of the delicate balance required to maintain a just society and the courage needed to stand up against injustice.
I may not take part in the protest directly, but let me do my part by sharing the stories of people who came back home safely and how they cried about their friends' brutal abductions by police. Let me share the screams for justice of people who are moving en masse to regain the utmost power of democracy. Their courage and determination inspire me to use my voice to amplify their cause, ensuring that their struggles are not forgotten.
Let the government realize how easily they can gain power, and how easily it can slip away from their hands. Democracy is not just a system but a living, breathing entity that requires constant vigilance and care from both the governed and those who govern.
Your lips seems blurry in my mind like it was miles and miles away, and i never been this passionately miserable of missing something that was never mine to claim in the first place, the hurt caused by the absence of your touches keep bludgeoning me like a hammer to a nail, a harsh reminder of how I was nothing than a mere object in a tasteless sentence, without your presence, breathing seems missing its meaning.
james and oliver - the hero and his sidekick
Kalau sudah cantik dan wangi begitu, harusnya langsung duduk di atas mukaku. Yang kamu bilang berat itu, adalah beban yang ditempa hidup pada perempuan jelita seperti kamu. Duduk, istirahatlah di atasku, biar aku bantu muntahkan emosi liar yang kamu pendam sejak kemarin.
— Gombalan Klise, pada kekasih bayangan yang belum jadi kepunyaan.
In Indonesian, they say: Terima kasih untuk 4 tahunnya, selamat berpisah.
In poetry, I say:
"Lika liku Menteng yang sudah aku hafal di luar nalarku, tak bakal terbuang sia-sia karena tiap sudutnya akan aku lantunkan doa paling tulus pada Maha Kuasa, yaitu Dia yang pernah kita temui rutin bersama di bawah langit-langit gereja. Biarlah suka duka senang sedih yang bertumpuk jadi memori, terurai dengan sempurna dalam sanubari, beralih jadi ruh dan energi baru tuk ingatkan diri bahwa cinta tak pernah mati hanya berubah perwujudan."
This book is older than me.
Second book of Pramoedya Ananta Toer's Buru Quartet: Anak Semua Bangsa (Children of All Nations), published in 1980.
This week obsession: 1984 by George Orwell.
And we might be a 'Richard Papen' somewhere in our life. Looking for place where we can feel desired, needed, and would never get left behind.
thinking about how richard papen was so desperate to find somewhere to belong because of the broken family he came from and he was obsessed with the exclusive class and after joining them he started resembling them, picking up their habits and their attitude, all because he wanted a family, to be included, and yet even after he joined them he still remained an outsider up until the very end. “your worst sin is that you have destroyed and betrayed yourself for nothing” is so richard papen
Aku dan pikiranku yang terkutuk.
PERINGATAN: TULISAN DEWASA.
Bukankah sedari awal kita mengetahui ini? Enam hari, enam hari yang berharga selamanya akan berakhir menjadi memori pada ruang ide, terkungkung di sana.
Alih-alih bersedih, kita justru di sini—ditemain teh, kue dan bunga. Aku sebetulnya gelisah dalam dudukku, haruskah kita benar-benar merayakan perpisahan ini? Sebab malam setelah kita semua meneguk teh seolah itu air teduh, kita tak lagi punya alasan untuk berkumpul bersama.
Akhirnya, atas upaya melampaui batas ruas khayal, aku menggerakkn kuasa dan meraih sebuah cangkir kosong yang disiapkan oleh Mbak Lia dan Shaka—dua orang yang belakangan ini menjadi sabitah penuh afeksi pada langit malam yang kerap kupandang, atas titahnya yang masih penuh kasih, aku diminta untuk menghias cangkir ini.
Sebuah cangkir putih—kosong, entah mengapa malah mengingatkan ku pada seseorang. Ah, mengapa perasaanku cepat sekali berubah? Tadi aku laiaknya catatan kecil berbuku sendu yang nyaris merenggus, sekarang aku justru tertunduk malu-malu menyadari sisi wajahku yang memerah sebab akalku tengah membayangkan presensi seseorang.
Sedang apa cantikku itu, ya? Apakah ia sedang menunggu kepulanganku di atas kasur kami? Menggunakan gaun pendek selutut berwarna merah muda yang nampak cantik untuknya—ataukah ia tengah bersenandung pada ruang tamu kami, menggerakkan tubunya kesana kemari laksana bayi serigala yang merayu sabana dan tanah-tanah basah?
Aku berupaya meraih sisa kewarasanku di sana, buru-buru—aku menggemgam sebuah kuas untuk melukis, ujung kuas tersebut kucelupkan pada pewarna minyak yang telah disediakan, aku berupaya menorehkan warna di sana—tetapi mengapa detak jantungku bertalu-talu? Mengapa kepalaku seolah dipaksa untuk mengingat tentang kamu? Ah? Sayangku, apa bilah bibirmu yang tak habis kucecap semalam penuh itu mengandung afrodisiak?
Akhirnya, aku membentuk sebuah pola abstrak, laiaknya rambutmu yang bergerak berlawanan arah ketika aku mengusaknya—atau ketika kamu menggeliat sebab aku menggelitiki permukaan kulitmu, sebab aku terbuai oleh gemas tubuhmu. Bolehkah aku melukiskan taman surga pada permukaan cangkir ini?
Gila—aku gila, sebab aku tak percaya surga.
Tetapi aku kerap mencarinya pada lelukmu.
Yang kuingat, kamu kerap menjadi kertas putih sedang aku adalah ujung pena berputar dan tuangan tinta nyata dari kebebasan. Bait demi baitku menjamah bibirmu—aku tengah berupaya membasahi setiap kata, menggelitik setiap penanda jeda. Di antara tubuhmu, ada beberapa kalimat taksa, aku jadi lebih menggebu untuk mengetahuinya. Maka, aku melantunkan syair, kamu jadi puisi erotis yang terus aku jamah.
Aku basah oleh cairan teratai merah sedang kamu jadi bunga berwarna merah yang paling merekah—oh? Haruskah kugambarkan saja bunga berwarna merah di atas cangkir kosong ini? Bunga indah selaiaknya kamu yang membuatku menjadi manusia paling serakah.
Aku lantas melukiskan rasa pada cangkir yang diberi padaku—memproyeksikannya seolah itu tubuhmu yang kerap kucumbu, seolah permukaannya adalah lekuk yang kerap kulekaskan. Pewarna minyak yang kugunakan telah memenuhi cangkir tersebut oleh bunga-bunga yang kugambar sembari mengingat dirimu dan penyatuan kita yang berlinang-linang sebab euforia.
Aku ingat kamu memiliki tattoo kecil pada bagian atas dadamu—sayang. Tentu, yang itu biar menjadi milikku saja, biar tersembunyi dibalik pintalan benang yang hangatkan tubuhmu jika tubuhku sedang tak bisa. Aku memang serakah, indah atasmu biar terbelenggu dalam kehendakku, dalam akalku. Kutulis sebuah kata dengan tinta hitam pada ujung cangkir yang tadi kuhias, kata yang selalu mengingatkanku padamu.
Ah, aku jadi rindu ketika kita jadi satu dalam dekapmu.
Menjelajah hingga ke inti tubuh dan melerai norma yang pagu.
Aku memutuskan untuk mengabadikan gambar tadi lantas mengirimkannya pada kekasihku—sengaja kutulis dengan pesan menggoda di sana, ia pasti akan membalsnya dengan wajah setengah merona sebab setengahnya lagi berniat memukul kepalaku. Padahal, jangankan dipukuli, aku selalu siap jika harus bersujud di antara kedua kakinya atau memikul beban tubuhnya.
Setelahnya, kami diminta untuk menyusun bunga yang masing-masing telah dibatasi maknanya berdasarkan huruf tertentu.
Sayangku, sejatinya aku siap merangkai namamu di sana. Tetapi aksara yang jelaskan tentang dirimu tergubah menjadi kontradiksi paling menggairahkan, seolah yang bisa dilakukan oleh jemariku hanya melecuti pakaianmu hingga kita melebur bersama ego.
Aku mengutuk keserakahan manusia—tetapi nyatanya aku serakah atas dirimu. Sekali lagi aku menaru curiga, pada bilah bibirmu yang basah dan berhias untaian saliva, apakah ada afrodisiak di sana?
Buket bungaku lantas berhias bunga dengan tiga warna—objek yang kuanggap memanifestasikan dirimu, indahnya kamu—hingga membias setiap lara dalam lekuk jiwaku. Menghunus memenuhi setiap relungmu.
Ah kepalaku pening, kutuk lah aku. Maki lah aku yang kini tengah membayangkan elok tubuhmu di tengah keramaian, sayang.
Aku lantas melepas buket bunga yang telah kuhias tadi, kuletakkan dengan penuh hati-hati seolah itu kamu yang kerap terbaring di atas ranjang kita. Timpaniku tersihir merindukan kamu yang meneriaki namaku penuh peluh tetapi masih meminta untuk tetap basah.
Akalku penuh oleh bayang dirimu hingga aku lupa, setelah ini—setelah ini aku akan penuh duka sebab harus berpisah.
[𝟮𝟬+ & 𝗧𝗮𝘂𝗿𝘂𝘀!] Beauty is terror, yet we want to be devoured by it; A devoted Henry Winter defender.
77 posts