Pretty Books Are Everything.

Pretty Books Are Everything.
Pretty Books Are Everything.
Pretty Books Are Everything.
Pretty Books Are Everything.

Pretty books are everything.

More Posts from Perpetual-peace and Others

8 months ago
Night At The Library.
Night At The Library.
Night At The Library.
Night At The Library.
Night At The Library.
Night At The Library.
Night At The Library.
Night At The Library.
Night At The Library.

Night at the library.

Jakarta citizens have to be very grateful for the amount of effort its government put into building a cool and comfortable reading space in the entire city. One of it is the infamous Perpustakaan Cikini and PDS H.B. Jassin which are heaven for those who craving for Rp 0 place to read!


Tags
8 months ago

Kalau sudah cantik dan wangi begitu, harusnya langsung duduk di atas mukaku. Yang kamu bilang berat itu, adalah beban yang ditempa hidup pada perempuan jelita seperti kamu. Duduk, istirahatlah di atasku, biar aku bantu muntahkan emosi liar yang kamu pendam sejak kemarin.

— Gombalan Klise, pada kekasih bayangan yang belum jadi kepunyaan.


Tags
8 months ago

What is poetry if not politics? Buried deep beneath the blots of ink lie true intentions and harsh realities. A reflection of our contemporary world.

What is poetry if not a submission? A portrait in the nude. Flesh to be groped, vulnerable to a penetrative gaze.

What is poetry if not a reaping? One's mind ripped apart in fragments, strewn on parchment, thoughts to be devoured. Slow, agonizing death.

7 months ago
𝔯𝔞𝔦𝔫𝔶 𝔠𝔦𝔱𝔶 𝔪𝔬𝔯𝔫𝔦𝔫𝔤 🌧️🏙️☕️🚕
𝔯𝔞𝔦𝔫𝔶 𝔠𝔦𝔱𝔶 𝔪𝔬𝔯𝔫𝔦𝔫𝔤 🌧️🏙️☕️🚕
𝔯𝔞𝔦𝔫𝔶 𝔠𝔦𝔱𝔶 𝔪𝔬𝔯𝔫𝔦𝔫𝔤 🌧️🏙️☕️🚕
𝔯𝔞𝔦𝔫𝔶 𝔠𝔦𝔱𝔶 𝔪𝔬𝔯𝔫𝔦𝔫𝔤 🌧️🏙️☕️🚕
𝔯𝔞𝔦𝔫𝔶 𝔠𝔦𝔱𝔶 𝔪𝔬𝔯𝔫𝔦𝔫𝔤 🌧️🏙️☕️🚕
𝔯𝔞𝔦𝔫𝔶 𝔠𝔦𝔱𝔶 𝔪𝔬𝔯𝔫𝔦𝔫𝔤 🌧️🏙️☕️🚕

𝔯𝔞𝔦𝔫𝔶 𝔠𝔦𝔱𝔶 𝔪𝔬𝔯𝔫𝔦𝔫𝔤 🌧️🏙️☕️🚕

2 months ago

Aku dan pikiranku yang terkutuk.

PERINGATAN: TULISAN DEWASA.

Bukankah sedari awal kita mengetahui ini? Enam hari, enam hari yang berharga selamanya akan berakhir menjadi memori pada ruang ide, terkungkung di sana.

Alih-alih bersedih, kita justru di sini—ditemain teh, kue dan bunga. Aku sebetulnya gelisah dalam dudukku, haruskah kita benar-benar merayakan perpisahan ini? Sebab malam setelah kita semua meneguk teh seolah itu air teduh, kita tak lagi punya alasan untuk berkumpul bersama.

Akhirnya, atas upaya melampaui batas ruas khayal, aku menggerakkn kuasa dan meraih sebuah cangkir kosong yang disiapkan oleh Mbak Lia dan Shaka—dua orang yang belakangan ini menjadi sabitah penuh afeksi pada langit malam yang kerap kupandang, atas titahnya yang masih penuh kasih, aku diminta untuk menghias cangkir ini.

Sebuah cangkir putih—kosong, entah mengapa malah mengingatkan ku pada seseorang. Ah, mengapa perasaanku cepat sekali berubah? Tadi aku laiaknya catatan kecil berbuku sendu yang nyaris merenggus, sekarang aku justru tertunduk malu-malu menyadari sisi wajahku yang memerah sebab akalku tengah membayangkan presensi seseorang.

Sedang apa cantikku itu, ya? Apakah ia sedang menunggu kepulanganku di atas kasur kami? Menggunakan gaun pendek selutut berwarna merah muda yang nampak cantik untuknya—ataukah ia tengah bersenandung pada ruang tamu kami, menggerakkan tubunya kesana kemari laksana bayi serigala yang merayu sabana dan tanah-tanah basah?

Aku berupaya meraih sisa kewarasanku di sana, buru-buru—aku menggemgam sebuah kuas untuk melukis, ujung kuas tersebut kucelupkan pada pewarna minyak yang telah disediakan, aku berupaya menorehkan warna di sana—tetapi mengapa detak jantungku bertalu-talu? Mengapa kepalaku seolah dipaksa untuk mengingat tentang kamu? Ah? Sayangku, apa bilah bibirmu yang tak habis kucecap semalam penuh itu mengandung afrodisiak?

Akhirnya, aku membentuk sebuah pola abstrak, laiaknya rambutmu yang bergerak berlawanan arah ketika aku mengusaknya—atau ketika kamu menggeliat sebab aku menggelitiki permukaan kulitmu, sebab aku terbuai oleh gemas tubuhmu. Bolehkah aku melukiskan taman surga pada permukaan cangkir ini?

Gila—aku gila, sebab aku tak percaya surga.

Tetapi aku kerap mencarinya pada lelukmu.

Yang kuingat, kamu kerap menjadi kertas putih sedang aku adalah ujung pena berputar dan tuangan tinta nyata dari kebebasan. Bait demi baitku menjamah bibirmu—aku tengah berupaya membasahi setiap kata, menggelitik setiap penanda jeda. Di antara tubuhmu, ada beberapa kalimat taksa, aku jadi lebih menggebu untuk mengetahuinya. Maka, aku melantunkan syair, kamu jadi puisi erotis yang terus aku jamah.

Aku basah oleh cairan teratai merah sedang kamu jadi bunga berwarna merah yang paling merekah—oh? Haruskah kugambarkan saja bunga berwarna merah di atas cangkir kosong ini? Bunga indah selaiaknya kamu yang membuatku menjadi manusia paling serakah.

Aku lantas melukiskan rasa pada cangkir yang diberi padaku—memproyeksikannya seolah itu tubuhmu yang kerap kucumbu, seolah permukaannya adalah lekuk yang kerap kulekaskan. Pewarna minyak yang kugunakan telah memenuhi cangkir tersebut oleh bunga-bunga yang kugambar sembari mengingat dirimu dan penyatuan kita yang berlinang-linang sebab euforia.

Aku ingat kamu memiliki tattoo kecil pada bagian atas dadamu—sayang. Tentu, yang itu biar menjadi milikku saja, biar tersembunyi dibalik pintalan benang yang hangatkan tubuhmu jika tubuhku sedang tak bisa. Aku memang serakah, indah atasmu biar terbelenggu dalam kehendakku, dalam akalku. Kutulis sebuah kata dengan tinta hitam pada ujung cangkir yang tadi kuhias, kata yang selalu mengingatkanku padamu.

Ah, aku jadi rindu ketika kita jadi satu dalam dekapmu.

Menjelajah hingga ke inti tubuh dan melerai norma yang pagu.

Aku memutuskan untuk mengabadikan gambar tadi lantas mengirimkannya pada kekasihku—sengaja kutulis dengan pesan menggoda di sana, ia pasti akan membalsnya dengan wajah setengah merona sebab setengahnya lagi berniat memukul kepalaku. Padahal, jangankan dipukuli, aku selalu siap jika harus bersujud di antara kedua kakinya atau memikul beban tubuhnya.

Setelahnya, kami diminta untuk menyusun bunga yang masing-masing telah dibatasi maknanya berdasarkan huruf tertentu.

Sayangku, sejatinya aku siap merangkai namamu di sana. Tetapi aksara yang jelaskan tentang dirimu tergubah menjadi kontradiksi paling menggairahkan, seolah yang bisa dilakukan oleh jemariku hanya melecuti pakaianmu hingga kita melebur bersama ego.

Aku mengutuk keserakahan manusia—tetapi nyatanya aku serakah atas dirimu. Sekali lagi aku menaru curiga, pada bilah bibirmu yang basah dan berhias untaian saliva, apakah ada afrodisiak di sana?

Buket bungaku lantas berhias bunga dengan tiga warna—objek yang kuanggap memanifestasikan dirimu, indahnya kamu—hingga membias setiap lara dalam lekuk jiwaku. Menghunus memenuhi setiap relungmu.

Ah kepalaku pening, kutuk lah aku. Maki lah aku yang kini tengah membayangkan elok tubuhmu di tengah keramaian, sayang.

Aku lantas melepas buket bunga yang telah kuhias tadi, kuletakkan dengan penuh hati-hati seolah itu kamu yang kerap terbaring di atas ranjang kita. Timpaniku tersihir merindukan kamu yang meneriaki namaku penuh peluh tetapi masih meminta untuk tetap basah.

Akalku penuh oleh bayang dirimu hingga aku lupa, setelah ini—setelah ini aku akan penuh duka sebab harus berpisah.

Aku Dan Pikiranku Yang Terkutuk.
2 weeks ago
I'll Be Free. I Have To Be Free.
I'll Be Free. I Have To Be Free.
I'll Be Free. I Have To Be Free.

I'll be free. I have to be free.


Tags
4 weeks ago
March To April: Caffeine's Gallery.
March To April: Caffeine's Gallery.
March To April: Caffeine's Gallery.
March To April: Caffeine's Gallery.
March To April: Caffeine's Gallery.
March To April: Caffeine's Gallery.
March To April: Caffeine's Gallery.
March To April: Caffeine's Gallery.
March To April: Caffeine's Gallery.
March To April: Caffeine's Gallery.
March To April: Caffeine's Gallery.
March To April: Caffeine's Gallery.
March To April: Caffeine's Gallery.
March To April: Caffeine's Gallery.
March To April: Caffeine's Gallery.
March To April: Caffeine's Gallery.
March To April: Caffeine's Gallery.
March To April: Caffeine's Gallery.

March to April: Caffeine's Gallery.

Crazy how this bitter liquid (although not all of them are) helped me cope with everything.


Tags
4 months ago
January's Book Haul.
January's Book Haul.

January's book haul.


Tags
1 month ago
Mentari Samar Merasuk Ke Dalam Sukma, Membangunkan Jiwa Yang Masih Ingin Direngkuh Oleh Malam. Kendati

Mentari samar merasuk ke dalam sukma, membangunkan jiwa yang masih ingin direngkuh oleh malam. Kendati demikian, jejak-jejak jiwamu kembali menyapa alam bawah sadar, menginatkan mata agar lekas terbuka walau sayup-sayup.

Nihil pesan baru tak buat hati jadi masygul, karena yang paling menggubah bahagia adalah menelusuri sajak pesan penuh rayuan-rayuan malu sisa semalam. Sudah pagi, tapi bibir ini t’lah bentukkan sabit senyum, merona-rona pipi mengingat gurauan Tuan.

Maka tenggelamlah dinda ini ke dalam perinduan akanmu, dan rasa ini sekiranya akan tinggal sampai waktu yang tak tentu. Detik, menit, jam, terhabiskan dengan menggoreskan asa tentang kamu, kamu, kamu lagi. Tinta-tinta t’lah warnai kertas, gambarkan rayuan-rayuan lain yang siap memakanmu hingga habis tak tersisa. Kala selesai menulis, rindu itu datang lagi...

Oh, mabuk rindu sudah diri ini...


Tags
4 months ago
Reading Is Political And It Always Has Been. Here Are Some Of The Classic Books On The Banned List That
Reading Is Political And It Always Has Been. Here Are Some Of The Classic Books On The Banned List That
Reading Is Political And It Always Has Been. Here Are Some Of The Classic Books On The Banned List That
Reading Is Political And It Always Has Been. Here Are Some Of The Classic Books On The Banned List That

Reading is political and it always has been. Here are some of the classic books on the banned list that you should definitely check out.

Loading...
End of content
No more pages to load
  • hornfeet
    hornfeet liked this · 6 months ago
  • slut4dasmutt
    slut4dasmutt liked this · 6 months ago
  • perpetual-peace
    perpetual-peace reblogged this · 6 months ago
perpetual-peace - Pax Vobiscum, Peace Be With You
Pax Vobiscum, Peace Be With You

[𝟮𝟬+ & 𝗧𝗮𝘂𝗿𝘂𝘀!] Beauty is terror, yet we want to be devoured by it; A devoted Henry Winter defender.

77 posts

Explore Tumblr Blog
Search Through Tumblr Tags