Tidak semua wanita yang mengejar pendidikan tinggi itu, ambisius. Ada banyak dari mereka yang hanya senang menuntut ilmu secara formal. Duduk di bangku kuliah, berhadapan dengan dosen, melakukan penelitian, membuat karya tulis dan semacamnya. Bejana jiwanya terasa full saat ia melewati fase demi fase itu.
Tidak semua wanita yang berdedikasi tinggi dalam karir itu, feminis. Ada banyak dari mereka yang hanya senang berkarya melalui pekerjaan yang ia lakukan. Menerima tantangan, mengerjakan proyek, bersosialisasi dengan banyak orang, presentasi ini dan itu. Bahagia saat ia melihat ada banyak orang yang terbantu melalui pekerjaanya. Bahagia saat satu persatu pekerjaannya menjadi sesuatu untuk banyak orang. Itulah cara dia mengisi bejana jiwanya agar tetap utuh.
Tidak semua wanita yang menyukai pekerjaan di dalam rumah itu, tidak kreatif. Ada banyak dari mereka yang mampu berinovasi dalam menata perabotan rumah, mengatur keuangan harian, memasak aneka macam menu, bercocok tanam di kebun rumah, dan sebagainya. Ia merasa bahagia saat ia bisa mempersembahkan yang terbaik melalui waktu dan tangannya di dalam rumah. Itulah cara ia dalam mengisi bejana jiwanya.
Untuk itu, coba tanyakan pada wanita yang kelak (atau sudah) engkau nikahi. Bagaimanakah cara ia biasanya mengisi bejana jiwanya? Karena tak semua wanita cocok diminta berjualan online di rumah. Tidak semua wanita bahagia saat diminta menjadi pekerja lepas dari rumah. Bukankah ada dari mereka yang bejana jiwanya akan terisi saat ia mampu berkontribusi langsung pada masyarakat? Bagaimana dengan itu?
Seorang wanita yang bahagia dan bejana jiwanya terisi penuh, akan mampu memperlakukan orang-orang tercintanya dengan sangat baik. Jadi, tidak perlu khawatir jika (kelak) wanita yang engkau nikahi adalah ia yang aktivitasnya sangat padat. Sebab seorang wanita, sesibuk apapun ia akan menjadikan keluarganya prioritas.
Begitu kurang lebih yang aku tahu. :)
April 2019 | Luluk Gusliyanah
Disclaimer: ini bukan tulisan edukasi tentang konsep takwa. Ini sepenuhnya refleksi pribadi saya. Tidak disarankan untuk menjadikannya referensi. Mohon diproses dengan pikiran sendiri, tidak ditelan bulat-bulat. Jika tergelitik, silakan lakukan penelitian dan perenungan sendiri.
* * *
Pasti kita udah sering denger terminologi “takwa”.
Kalau ditanya apa itu takwa, kebanyakan orang akan menjawab: “Menaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya.”
Saya ngga pernah puas dengan definisi itu. Maaf ya, izinkan saya jujur secara brutal, definisi itu normatif dan ngga inspiring. Ngga menggugah selera untuk bersemangat mendapatkannya. (Pahami bahwa saya bukan bilang takwa itu ngga menarik, tapi pemaknaan/penafsiran kita atas konsep takwa yang belum memuaskan).
Iya, menurut saya, kalau sesuatu itu penting menurut sunnatullah (atau hukum alam, versi bahasa universalnya), maka secara alamiah pasti kita akan tertarik ke arah sana. Maka, saya curiga, jangan-jangan ada definisi yang lebih dalam, lebih menggugah, lebih membuka kesadaran daripada yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Misalnya, siapa sih orang waras, berakal yang dalam hidupnya ngga pernah bertanya “Kenapa aku ada?”, “Untuk apa aku ada?”, “Apa yang penciptaku inginkan dengan menciptakan aku ke alam ini?”. Saya percaya ini pertanyaan yang universal, yang kalaupun ngga diajarkan di sekolah, secara alamiah kita akan mempertanyakan ini, cepat atau lambat.
Pertanyaan-pertanyaan itu penting. Mereka akan mendorong kita mencari Tuhan, memahami diri kita, mencari petunjuk dari Sang Pencipta–yang semua jawabannya sudah dipersiapkan oleh Allah untuk kita temukan. Karena itu, Allah sudah tanamkan stimulusnya berupa rasa penasaran yang instingtif. Kita tertarik untuk mengenali pencipta kita secara alamiah.
Nah, takwa itu disebutkan di berbagai ayat Al-Quran, menjadi tujuan dari berbagai perintah–yang salah satunya puasa di bulan Ramadhan, maka pastinya penting. Kalau penting, pastinya insting alamiah kita akan bereaksi secara positif (tergugah, terinspirasi) jika kita memahaminya dengan cara yang seharusnya.
Singkat cerita, saya menemukan definisi takwa yang memuaskan bagi hati saya. Saya menemukannya dalam tafsir Al-Quran “The Message of the Quran” karya Muhammad Asad. Definisinya:
Kesadaran akan kemahahadiran-Nya dan keinginan seseorang untuk membentuk eksistensinya berdasarkan kesadaran ini.
Atau sederhananya, takwa adalah “kesadaran akan hadirnya Allah”.
Buat saya, definisi ini lebih memuaskan daripada yang selama ini saya terima. Coba kita tempatkan kedua definisi takwa dalam konteks perintah puasa Ramadhan.
Dalam definisi takwa pertama, kita diwajibkan berpuasa dengan tujuan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dalam definisi takwa kedua, kita diwajibkan berpuasa dengan tujuan agar kita selalu sadar akan kehadiran Allah.
Kita tempatkan juga kedua definisi takwa itu dalam konteks ayat permulaan Al-Baqarah.
Dalam definisi pertama, Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, yang menginfakkan sebagian rezeki yang Allah berikan.
Dalam definisi kedua, Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang sadar akan kehadiran Allah. Yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, yang menginfakkan sebagian rezeki yang Allah berikan.
Gimana?
Apa lebih bisa dipahami? Apa lebih membuka kesadaran? Apa lebih menggugah? Kalau buat saya, iya banget.
Ketika berpuasa, kita bisa aja minum atau ngemil di siang hari, selama ngga ada manusia yang liat. Tapi yang menahan diri kita apa? Kesadaran akan hadirnya Allah, yang mungkin ngga begitu kita ingat kalau kita ngga puasa.
Ketika berbuka, kita seneng banget tuh, kita berdoa sebelum berbuka, “Ya Allah, terimalah puasaku dan segala amal ibadahku hari ini”. Lagi-lagi, kita distimulasi untuk menghadirkan kesadaran bahwa apa yang kita lakukan ini disaksikan oleh Allah.
Dari situ, sebenarnya kita bisa lihat bahwa menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (khususnya shaum Ramadhan) adalah jalan menuju kesadaran akan kehadiran Allah.
Dengan syarat, ketaatan dalam perintah dan larangan-Nya dilakukan dengan benar ya: kalau shalat khusyu’, kalau puasa ikhlas (mindful, aware, niat dari dalam hati), kalau sedekah bukan untuk ngebuang recehan.
Nah, kesadaran akan kehadiran Allah juga akan memperkuat kemampuan seseorang untuk menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (”Oke, mau menghadap Allah nih, masa’ aku shalat pake baju bekas bobo?”). Jadi, saya pikir ini seperti continuous feedback loop.
Oke, meskipun ini perenungan pribadi, karena ini dipublikasikan maka saya tetap harus bertanggung jawab menutupnya dengan baik.
“Mengasah kesadaran akan kehadiran Allah” adalah closing yang berat, tapi paling engga saya bisa bagikan beberapa usaha saya untuk melatihnya.
Pertama, bangun mental model hubungan antara kita dan Allah yang lebih personal. Alih-alih berpikir bahwa kita cuma satu makhluk yang ngga signifikan dan mungkin ngga Allah pedulikan karena Dia “sibuk” dengan alam semesta dan manusia lain yang istimewa, ingat bahwa Allah juga Maha Dekat, Maha Tahu, Maha Mendengar, Maha Menyayangi, Maha Memperhatikan sehingga kamu bisa berkomunikasi secara personal dengan Allah.
Dia tidak seperti manusia yang kalau banyak kerjaan pusing dan skip, Dia menunggu kamu untuk datang kepada-Nya. Berkomunikasi, berterima kasih, meminta maaf, berharap, menangis.
Ingat juga bahwa Dia available setiap waktu, ngga cuma di waktu shalat–misalnya. Lagi kerja, lagi ngasuh anak, lagi beberes rumah; lagi senang, lagi marah, lagi sedih; kamu bisa berkomunikasi dengan Allah tentang hal seremeh apapun.
Kedua, pahami bacaan dan doa-doa dalam ibadah. Iya, misalnya bacaan shalat, coba dipahami. Caranya jangan cuma baca artinya secara keseluruhan, tapi pelajari kata per kata.
“Rabbi”–wahai Tuhanku, “ighfirli”–ampuni dosaku, “warhamni”–sayangi aku, “wajburni”–cukupilah aku, “warfa’ni”–tinggikan derajatku, “warzuqni”–berilah aku rezeki, “wahdini”–berilah aku petunjuk, “wa’afini”–sehatkan aku, “wa’fu’anni”–maafkanlah aku.
Bisa pelajari juga akar katanya, misal “ighfirli” dari kata “ghafara”, yang artinya “mengampuni”, asal maknanya “menutup”. Wah ini bisa didalami lebih jauh lagi, silakan cari sendiri ya.
Sedikit belajar Bahasa Arab, biar setiap kita mengucapkan doa dalam shalat, hati kita tahu betul kita sedang berkomunikasi apa dengan Allah. Biar setiap beristighfar, bertasbih, bertahmid, hati kita benar-benar mean it.
Ketiga, sering-sering mikirin what this life is all about. Bayangin setelah membaca ini kamu terkena serangan jantung lalu meninggal, kamu ngerasa siap apa engga? Kalau engga, kenapa? Karena ngga ada amal yang bisa dibanggakan? Kalau gitu itu PR kamu, segera bikin amal yang bisa kamu banggakan saat dihisab nanti.
Atau karena banyak dosa? PR kamu adalah taubat + mengubur dosa-dosa dengan amal baik yang banyak.
Kalau ingat bahwa kita belum siap dihitung amal dan dosanya di hadapan Allah, kita jadi bisa melihat apakah karir, bisnis, investasi yang kita upayakan itu adalah sarana mempersiapkan diri atau menjadi distraksi dari apa yang benar-benar penting.
Coba bikin daftar yang harus kamu siapkan agar jika suatu hari kamu terbaring di rumah sakit, sadar ga lama lagi kamu akan mati, hati kamu ngerasa tenang dan siap menghadap Allah, seperti yang dideskripsikan di Al-Fajr:
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.”
Misalnya, jika profil kamu adalah seorang ayah dan suami:
1. Sedekah rutin untuk anak yatim (misalnya ini amal andalan kamu) 2. Istri dan anak yang siap ditinggalkan secara mental dan bertekad untuk menyusul saya di surga (melanjutkan berbagai amal sholeh sepeninggal kamu) 3. Rumah untuk anak dan istri biar mereka punya tempat bernaung 4. Passive income untuk menafkahi keluarga meski saya ngga ada, biar mereka ngga susah dan menyusahkan orang lain (3 dan 4 sekilas materialistis, tapi tujuannya bernilai amal sholeh)
Itu daftar simplistik dan contoh aja.
Poinnya adalah sering-sering melatih diri kita mengingat apa yang paling esensial dalam hidup (yaitu siap ketika sudah saatnya kita menghadap Allah) dan mengkalibrasi terus menerus kesibukan kita supaya selalu dalam kerangka membuat Allah ridha sama kita.
So, mari kita membangun, mengasah, dan menjaga kesadaran kita akan ke-Maha-Hadiran Allah.
Wallahu’alam.
Which type of woman is best?
It was asked to `Aa’ishah (may Allaah be pleased with her), Which type of woman is best?
She said, "The one who does not know about saying bad things, and she is not crafty like men; her focus is on adorning herself for her husband and taking care of her family."
Ref: Muhaadaraat al-Udabaa’ by ar-Raaghib al-Asfahaanee (1/410)
It's the worst feeling when you commit a sin and realise that you disobeyed the One who loves you more than anyone. But it's the best feeling to go back to Him and ask for forgiveness, knowing that He was always waiting for your tawbah.
“Those who devour the property of orphans, they fill their bellies with fire. Soon they will roast in the blazing fire (of Hell).”
-Al Qur’aan [4:10]
Adik : Mas, kenapa memilih jadi orang baik? Seringnya kelewatan baik malah. Bukannya yang ada kadang disakiti, sering merugi, dibayar juga nggak. Hehe
Kakak : Iya betul. Tapi memilih jadi orang nggak baik juga sama aja. Sadar nggak sadar, yang sakit malah diri sendiri, yang dirugikan diri sendiri juga. Kalau kamu mencari orang baik tapi sulit untuk menemukan, ya nggak ada salahnya untuk coba menjadi apa yang kamu cari tadi. Biar nanti memudahkanmu juga, karena biasanya juga akan dipertemukan dengan orang-orang baik lainnya. Dan satu lagi.
Apa itu Mas?
Nggak semua orang bisa cukup terbuka untuk meminta bantuan orang lain. Entah karena nggak enakan, kurang nyaman untuk membagi beban, dan bermacam penyebab dibelakangnya. Jadi bisa saja ada orang yang sangat terbantu oleh pertolongan yang kamu tawarkan. Meski bentuk terimakasih yang mereka berikan, mungkin hanya terdengar sepertinya terimakasih yang seperti biasa. Tapi kamu tidak tahu seberapa dalam rasa terimakasihnya.
You could murder one, thousands, or even millions of Moslems. Yet, you would never be able to kill the faith in our heart. Our faith will never be killed nor be feared.
Our brothers you massacred yesterday, they are verily happy right now. You might think you’ve killed them. But it turns out that you gave them a shaheed, a golden ticket to heaven.
Why do you really hate us? When will you stop hating us just because we have a different religion?
As Moslems, we were never taught to curse when angry or avenge when being hurt. But instead we were taught to be patient, even when you call us terrorists.
You have failed if you murdered our brothers to start a war.
You have failed if you murdered our brothers to frighten us.
Mampang Prapatan | © Taufik Aulia
Jika ramadhan tak mampu membuat hati lekat dengan Qur'an, lalu bulan apa lagi yang hendak kau harapkan?
©Quraners
this terrified kitty won't let go of the young man who found it under the rubble.
the reporter was wondering if animals associations would care for the animals situation in gaza and the man answers her: "they do not care about us; human beings, you think they care about animals?! they do not care about us. no one does."
I got my heart broken and I survived, I failed 3 courses in university and graduated, I got rejected in the very first job I applied for and got promoted yesterday, I went through hard times with my family but then two years later, we laughed our hearts out over lunch. The closest friends disappointed me several times but I made new friends and loved them with all my heart. I did it once, I can do it again.